Kuntilanak 2 merupakan film sekuel horor Kuntilanak (2018) besutan sutradara Rizal Mantovani yang dirilis tahun lalu. Film sekuelnya ini dirilis bertepatan sehari sebelum hari raya Idul Fitri, mengambil momen liburan Lebaran, serta beberapa film lainnya yang dirilis bersamaan. Sang sineas memang telah kondang menyutradarai beberapa seri horor Kuntilanak, seperti Kuntilanak (2006), Kuntilanak 2 (2007), Kuntilanak 3 (2008), dan Kuntilanak (2018). Lalu bagaimana dengan filmnya kali ini? Kisah filmnya masih berkutat pada hubungan Tante Donna (Nona Rosier) bersama kelima anak asuhnya, Dinda (Sandrinna M. Skornicki), Kresna (Andryan Bima), Ambar (Ciara Nadine Brosnan), Panji (Adlu Fahrezy), dan Miko (Ali Fikry).

Dikisahkan Julia (Susan Sameh), putri bungsu Tante Donna yang kuliah di luar negeri kini tengah berlibur di Indonesia. Suatu ketika, datang seorang perempuan bernama Karmila (Karina Suwandi), yang mengaku bahwa ia adalah ibu kandung dari Dinda, salah satu anak asuhnya. Karmila meninggalkan alamat jika suatu saat nanti Tante Donna siap untuk menyerahkan Dinda kepadanya. Dinda pun lalu memaksa untuk bertemu ibu kandungnya yang mau tak mau Tante Donna harus menyetujuinya. Dinda bersama rekan-rekannya, ditemani Julia dan pacarnya, Edwin (Maxime Bouttier) pergi ke lokasi. Tak disangka, lokasi rumah tersebut berada di tengah hutan belantara. Setibanya di sana, kejadian aneh dan kejanggalan yang menyelimuti mereka.

Cerita tentang sosok hantu lokal Kuntilanak, rasanya memang tidak ada habisnya dieksplor oleh sang sineas. Dalam film seri pertama (2018), sang sineas mencoba menggunakan formula baru dengan menggunakan para pemain yang didominasi anak-anak. Kala itu, filmnya mendapatkan apresiasi yang lumayan dari masyarakat dengan meraih 1,2 juta penonton. Dalam sekuelnya ini, sang sineas masih menggunakan formula yang sama melalui pendekatan tokoh yang sama. Hanya saja, ceritanya kini mengambil sudut pandang masa lalu salah satu tokohnya, yakni Dinda.

Baca Juga  3 Doa 3 Cinta, Kisah Tentang Pesantren yang Dangkal

Lalu apa yang ditawarkan film sekuelnya ini? Rasa-rasanya, sama sekali tak ada yang baru dalam filmnya. Alur kisahnya hanya terasa mengulang plot seri pertama. Kisahnya yang teramat datar dan mudah ditebak, membuat saya tak bisa masuk dalam alur cerita yang dibangun. Baik chemistry antar karakter serta sisi komedi terasa begitu hambar, tidak seperti pada seri pertama yang mampu membawa penonton tergelak dengan polah mereka. Dialog antartokohnya pun, kali ini terasa kaku dan gamblang. Masa lalu Dinda dan keluarganya memang menjadi konflik utama, namun dengan kilas balik yang begitu minim, sulit untuk bisa berempati dengan kisahnya.

Bicara soal sosok hantu, tak banyak komentar. Tak ada aura menakutkan sedikitpun yang muncul. Terornya sudah terlalu umum dan repetitif. Padahal sejak awal, seolah memberi kesan bakal ada sosok setan yang memiliki kekuatan besar muncul. Setting rumah sebenarnya sudah mendukung untuk bisa mengeksplorasi sisi ketegangan lebih baik, namun sayangnya, film ini tak mengarah ke sana. Satu contoh adegan menarik ketika teknik crosscutting memperlihatkan aktivitas mereka di rumah angker dengan Tante Donna di rumahnya yang tengah menyelidiki identitas Karmila. Adegan yang menyajikan aksi ketegangan macam ini sayangnya tak banyak digunakan dalam filmnya. Sebagai penutup, Kuntilanak 2 rasanya ingin menyampaikan pesan tentang pentingnya keluarga dan kebersamaan dalam menghadapi masalah, namun sayangnya kurang mengena pada akhir kisahnya.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaSingle 2
Artikel BerikutnyaGhost Writer
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.