Terhitung jarang film horor psikologis yang bicara soal tradisi pantangan dalam budaya lokal, khususnya Asia. Seire adalah film drama horor produksi Korea Selatan arahan Park Kang yang dibintangi oleh  Seo Hyun-woo, Ryu Abel, Shim Eun-woo, dan Ko Eun-min. Film yang premiere-nya diputar pada ajang Busan Film Festival pada tahun 2021 lalu, kini baru dirilis platform Prime-Video pada bulan Juni ini. Apakah film ini memiliki eksplorasi genre yang baru untuk genrenya?

Bersama istrinya, Woo-jin (Hyun-woo) baru saja melahirkan putra pertamanya. Istrinya adalah seseorang yang percaya betul pada tradisi kuno yang dinamakan “seire”, bahwa dalam 21 hari sejak kelahiran adalah masa kritis bagi seorang bayi rentan terhadap hal-hal yang negatif (roh jahat). Woo-jin yang tak percaya takhyul selalu menganggap istrinya bersikap berlebihan. Namun sejak ia melayat mantan pacarnya, Seo-young, yang tewas bunuh diri, ia mengalami hal-hal aneh dan delusional. Sang bayi pun rewel dan istrinya percaya bahwa Woo-jin telah membawa roh jahat ke kehidupan mereka. Di tengah situasi tersebut, muncul sosok Ye-young, adik kembar Seo-young yang memiliki wajah yang sangat mirip.

Kisahnya menarik dengan mengusung tema lokal di Korea Selatan yang rupanya juga memiliki sedikit kemiripan dengan budaya Jawa. Dikisahkan dalam masa 21 hari sejak kelahiran jabang bayi, orang lain selain nenek dan orang tuanya, sama sekali tidak boleh masuk rumah. Lalu jika ada orang meninggal, orang tuanya tidak boleh melayat. Ada pula memasang jimat di pintu masuk, dan lain sebagainya. Seire mengeksplorasi tradisi ini dengan mengemas kisahnya dalam genre horor bergaya brilian. Tradisi dan sisi kejiwaan sang tokoh utama dibenturkan sedemikian rupa hingga batasan keduanya begitu tipis.

Seire memang bukan untuk konsumsi penonton biasa. Dari sisi kemasan telah terlihat jelas jika ini adalah film festival melalui kemasan estetiknya yang tak biasa. Tempo plotnya teramat lambat dan seringkali menahan shot-nya dengan durasi lama hingga penggunaan shot-shot dekat. Kisahnya pun dituturkan dengan cara “nonlinier” yang kadang membingungkan penonton untuk memilah antara realita, kilas-balik, dan ilusi. Sisi horornya dibangun melalui konstruksi tiga segmen tersebut.

Baca Juga  Wonka

Bagi penonton yang terbiasa dengan film-film horor mainstream, dijamin Seire bakal terasa membosankan. Tidak seperti horor kebanyakan, film ini juga sama sekali tidak menggunakan sosok seram dan jump scare. Shot-shot-nya seolah memancing jump scare, namun tak pernah dilakukan. Untuk membangun tone horornya, film ini hanya menggunakan pengadeganan mimpi dan kilas-balik melalui visualisasi tokoh yang wajar serta sedikit permainan cahaya. Sosok kembar Seo-yong dan Ye-young yang sama persis mampu memberikan efek kengerian yang tak biasa. Seperti tradisi film horor slow burn semacam ini, twist ending adalah satu hal yang jamak dan Seire menyajikan kejutan dengan level kengerian yang luar biasa.

Seire jelas bukan film tontonan awam, sebuah “slow burn” horor dengan tema lokal kuat serta kemasan estestik unik lengkap dengan twist yang mengejutkan. Film ini mengingatkan banyak pada Midsommar yang mempermainkan penonton dengan segmen ilusi dan realita. Ending-nya pun mirip dengan menahan informasi hingga detik akhir. Apakah semua konsekuensi ini akibat Woo-jin yang melanggar tradisi/pantangan ataukah ini semua hanya imajinasinya (gangguan mental)? Seire menjawabnya dengan gaya penuturan dan sinematik yang sangat berkelas. Menyoal keberpihakan pembuat film pada tradisi atau tidak, adalah sebuah perbincangan menarik yang berbeda. Setidaknya, film horor ini menjadi satu contoh ideal bagaimana tradisi dan budaya Asia teramat dekat dengan budaya kita.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaWhat’s Love Got to Do with It?
Artikel BerikutnyaIndiana Jones and the Dial of Destiny
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.