What’s Love Got to Do with It?

Film komedi romantis lazimnya menyajikan cerita cinta beda kasta. Kisah cinta lintas agama adalah satu hal yang jarang disajikan dalam genrenya. What’s Love Got to Do with It? adalah film komedi romantis produksi Inggris arahan sineas senior, Sekhar Kapur. Film ini dibintangi Lily James, Shazad Latif, Shabana Azmi, dan Emma Thompson. Film berdurasi 108 menit ini dirilis oleh platform Prime Video baru lalu. Apakah film romcom ini mampu menampilkan sesuatu yang segar untuk genrenya?

Zoe (James) dan Kaz (Latif) telah bertetangga sejak mereka kecil hingga mereka dewasa. Zoe adalah adalah warga asli London sementara keluarga Kaz merupakan imigran dari Pakistan serta penganut muslim yang taat. Kaz yang belum juga mendapat jodoh akhirnya dibantu oleh orang tuanya untuk dikenalkan seorang gadis dari Pakistan. Sementara Zoe adalah seorang pembuat film dokumenter yang mendapat tekanan dari para produsernya untuk mencari topik dengan isu hangat. Akhirnya, Zoe pun membuat film tentang “perjodohan keluarga” yang kini tengah dijalani oleh sahabatnya. Dalam perjalanannya, Zoe dan Kaz mencoba memahami arti cinta yang sesungguhnya bagi mereka dan orang-orang di sekitarnya.

Melalui premis menarik, kisahnya mencoba mengangkat tema yang cukup sensitif. Tabrakan budaya modern dan tradisi (agama) secara solid diwakili oleh sosok Zoe dan Kaz yang kontras. Roman lintas kepercayaan sejatinya bukanlah isu utama di sini melainkan tradisi yang kuat di tengah derasnya arus keberagaman. Seseorang ingin membahagiakan keluarga atau diri mereka sendiri dengan pilihannya? Apakah tradisi turun temurun harus berubah sesuai tuntutan zaman? Ini yang ingin dijawab oleh kisahnya. Melalui sederetan pergolakan batin serta konflik dengan orang disekeliling dua tokohnya, pertanyaan ini dijawab dengan cukup memuaskan. Para kastingnya yang tampil mengesankan menjadi kekuatan terbesar filmnya.

Baca Juga  Batman: The Long Halloween, Part Two

What’s Love Got to Do with It? mengeksplorasi roman lintas agama dengan balutan tradisi lokal dengan sisi roman dan komedi yang kurang menggigit. Film ini terlalu tanggung untuk dikatakan rom com ataupun drama karena tidak keduanya. Selipan komedi terlalu minim, sementara benturan dramanya pun tidak menggigit. Bermain-main dengan tradisi dan kepercayaan macam ini memang bukan perkara mudah. Banyak perspektif yang harus diperhitungkan agar tidak menyinggung tradisi dan budayanya. Jaman memang sudah berubah demikian pula manusianya. Tradisi dan budaya bakal kekal oleh para penganutnya, namun cinta bakal menemukan jalannya sendiri.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaBloodhounds
Artikel BerikutnyaSeire
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.