Patinya Elang, Garuda Terbang? Ironi Sepakbola berbalut Duka

Sebagai penutup, film Elang (2025) tercatat hanya ditonton oleh 1.332 orang hingga 20 Januari 2025 (filmindonesia.or.id, 2025). Angka ini menyisakan ironi pahit: sebuah film yang berani mengusung isu besar tentang mafia sepak bola di Indonesia, dengan aktor utama sekelas Ganindra Bimo & Lukman Sardi (RRI.co.id, 2025), justru karam dalam sepi. Padahal, temanya menyentuh jantung persoalan bangsa: dunia olahraga yang terus dililit kecurangan, uang haram, dan pengkhianatan.

Data ini merefleksikan posisi Elang dalam lanskap sinema Indonesia: ia mencoba melawan amnesia kolektif kita terhadap realitas olahraga yang tercemar, namun tak cukup telinga untuk didengar, serta mata untuk ditonton. Di tengah banjir film horor dan drama percintaan remaja, Elang hadir bagai sepakan keras yang mestinya membangunkan kita dari euforia kosong. Ia memang jauh dari mahakarya, namun punya nyali: sesuatu yang semakin langka di sinema arus utama. Justru di sinilah tragedinya: keberanian itu tenggelam, nyaris tak dianggap, oleh publik yang lebih sibuk mengejar hiburan instan.

Namun, di balik keberaniannya, film ini juga tergelincir dalam absurditas naratif. Kematian Elang yang ditembak sniper di tengah pertandingan justru memperlihatkan miskonsepsi mendasar: seorang pemain tim nasional, aset negara, digambarkan tanpa perlindungan keamanan yang memadai. Dalam realitas sejarah sepak bola dunia, memang terjadi tragedi yang merenggut nyawa pemain, tetapi umumnya karena tekanan sosial atau kriminal di luar lapangan: misalnya pembunuhan Andrés Escobar di Kolombia tahun 1994 setelah gol bunuh dirinya di ajang Piala Dunia Amerika Serikat (The Guardian, 2014). Namun belum pernah ada kasus di mana seorang pemain ditembak mati saat bertanding di lapangan. Justru, yang kerap terjadi adalah tragedi keamanan yang menimpa suporter, seperti Heysel 1985 atau Hillsborough 1989 (BBC Sport, 2019). Maka, adegan sniper dalam Elang bukan hanya tidak realistis, melainkan juga mengaburkan problem nyata: lemahnya perlindungan terhadap pemain dan suporter sebagai jantung ekosistem sepak bola.

Ironi ini semakin mencolok bila dibandingkan dengan kenyataan pahit di luar layar: Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022, yang menewaskan setidaknya 135 orang suporter, tercatat sebagai kerusuhan stadion paling mematikan ke-2 dalam sejarah sepak bola dunia setelah Peru 1964 (BBC, 2022; Kompas, 2022). Tragedi itu bukan hanya luka kolektif, tetapi juga momentum transformasi: pemerintah Indonesia dan FIFA sepakat melakukan reformasi besar-besaran dalam tata kelola sepak bola nasional. Salah satu langkah simbolisnya adalah dibukanya Kantor Hub Asia FIFA di Jakarta pada November 2023, sebagai markas regional pertama FIFA di luar Zurich (FIFA, 2023). Dengan demikian, darah dan air mata di Kanjuruhan menjadi pengingat pahit bahwa sepak bola Indonesia harus berubah, atau binasa dalam lingkaran korupsi dan kekerasan.

Baca Juga  Hal-Hal Yang Dibenci Saat Nonton Film di Bioskop

Akhirnya, Elang bukan sekadar kisah seorang atlet yang terjepit di antara mafia dan keluarga. Ia adalah narasi tentang mimpi kolektif yang terus dikhianati: oleh sistem, oleh uang, oleh ketidakberdayaan. Di akhir cerita, tragedi berlapis menutup semua harapan: Ibu Elang tetap terperangkap dalam kabut Alzheimer yang tak kunjung sembuh; Seruni menangis memeluk jasad Elang yang tewas ditembak sniper di tengah lapangan; sementara Hardiman, sang mafia, memilih bunuh diri saat pengepungan. Tidak ada piala, tidak ada selebrasi: hanya senyap yang memantul di antara sorak-sorai yang sejak lama kehilangan maknanya.

Layaknya seekor elang yang patah sayapnya, kita dipaksa menatap kenyataan bahwa Garuda tak akan pernah benar-benar terbang selama langitnya masih dikuasai para pemburu. Elang mengingatkan kita bahwa sepak bola Indonesia tidak hanya membutuhkan penyerang tajam atau bek tangguh, tetapi juga keberanian kolektif untuk melawan segala bentuk pengkhianatan. Di akhir film, peluit panjang memang ditiup, namun pertandingan sesungguhnya baru saja dimulai: di luar layar, di tribun, di ruang rapat federasi, bahkan di hati para penontonnya.

Dan pertanyaan itu pun menggantung, tajam dan menggigit: apakah kita akan terus menjadi penonton, atau mulai berani menjadi pemain di lapangan kebenaran?

Link Streaming: https://www.vidio.com/watch/8817687-elang (vidio.com, 2025)

 

Judul: Elang | Tahun Produksi: 2020 | Tahun Rilis: 2025 | Durasi: 1 Jam 37 Menit | Sutradara: Rizal Mantovani | Penulis: Gustin Suradji & Leo Widharto | Produser: Roni S., Shalu T. M. & Sonya S. Samtani | Rumah Produksi: Arjuna Mega Films | Negara: Indonesia | Pemeran: Ganindra Bimo, Meisya Amira, Lukman Sardi, Dewi Yull, Nina Kozok, Joseph Kara, Franki Darmawan, Chintya Candranaya, Fadika Royandi, Abiyyu Barakbah, Ronny P. Tjandra, Rydhen Afexi, Dimar Han, Ricky Saldan.

1
2
3
4
5
Artikel SebelumnyaNobody 2 | REVIEW
Artikel BerikutnyaMaterialists | REVIEW
Purwoko Ajie or better known as Puralexdanu Patjingsung was born in Ciamis, West Java, on October 13, 1995. He studied at the Television and Film Study Program from 2015 to 2019 at the Indonesian Institute of the Arts (ISI) Surakarta. He has continued his Postgraduate studies at the Cultural Studies Program, Faculty of Cultural Science, Sebelas Maret University, Surakarta, from 2022 until 2024. During college, he was more active in the world of writing, both independent books, film scripts, and cultural studies journals, especially research in films (Google Scholar link: https://scholar.google.com/citations?user=I6nkRJIAAAAJ&hl=id&oi=ao). The first books he wrote were novels based on his personal stories, such as “Cinta Piramida” (2015) and “From Something To Nothing” (2018), published independently. He became one of the authors of a book about films entitled “30 Film Indonesia Terlaris 2002-2018”, published collectively by Montase Press. Several scientific journals have also been written and published in national and international journals. He is also occasionally active in the production of short fiction and documentaries. He has loved the world of film since childhood; his first film was made in junior high school in 2009, entitled “Salah Pelet”. In 2016, with his university colleagues, he made a short film entitled “Dakoen Doerang (Past & Now)”. This film is the first time it has been brought to an international film festival in the World Cinema, International Children Film Festival 2018 in India. Then in early 2018, he also produced a documentary entitled “Teguh Between The Collapse of Gemstone”, and in the same year, it was also appreciated at various international festivals. Now he continues to focus on learning to write script, make short films, and focus on cultural studies that discuss films.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses