Bicycle Thieves (1948)
89 min|Drama|13 Dec 1949
8.3Rating: 8.3 / 10 from 176,024 usersMetascore: N/A
In post-war Italy, a working-class man's bicycle is stolen, endangering his efforts to find work. He and his son set out to find it.

The Bicycle Thief (Ladri di biciclette, 1949) merupakan film paling populer dari gerakan neorealisme. Film ini sukses mendapatkan predikat film berbahasa asing terbaik dalam ajang Academy Awards di tahun 1949 serta beberapa ajang bergengsi lainnya. Film ini seringkali dianggap banyak pengamat sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. Film arahan sutradara Vittorio De Sica ini mengetengahkan tema seputar masalah sosial dan kemiskinan di kalangan masyarakat perkotaan Italia pasca perang dunia kedua.

Alkisah seorang pengangguran bernama Antonio Ricci (Lamberto Maggiorani) akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai tukang tempel poster. Ricci membutuhkan sepeda untuk syarat pekerjaan tersebut hingga istrinya harus menggadaikan selimut untuk menebus sepeda yang telah ia gadaikan. Keesokan harinya dengan berbekal semangat baru Ricci memulai pekerjaannya. Namun naas ketika ia sedang menempel poster pertamanya seseorang mengambil sepedanya. Ricci berusaha mengejarnya namun usahanya sia-sia. Sisa cerita memperlihatkan bagaimana usaha Ricci bersama anaknya, Bruno berkeliling kota untuk mencari sepedanya yang hilang.

Maggiorani bermain sangat sempurna menghidupkan perannya sebagai Antonio Ricci. Maggiorani sendiri adalah bukan seorang aktor dan ia adalah benar-benar seorang buruh pabrik. “Dari cara dia berjalan… dari cara dia duduk …dan segala sikapnya dari seorang pekerja bukan seorang aktor …semuanya sempurna” kata De Sica. Wajah Maggiorani adalah juga wajah Ricci yang selalu tampak bingung dan cemas hampir sepanjang film. Enzo Stoila yang juga bermain sempurna sebagai sang bocah, Bruno, juga ditemukan seorang kru film di jalan ketika sedang mencari lokasi untuk syuting.

Baca Juga  Seikat Kata dari Perjalanan ke Prancis

Dari perjalanan Ricci dan Bruno, De Sica mampu menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat bawah Italia yang memang sedang dalam masa sulit. Tampak dari orang-orang yang mengantri air, antrian bis yang panjang, tempat pegadaian yang ramai dikunjungi warga hingga apartemen yang padat, kecil dan sempit. Sekilas disingung pula masyarakat Italia yang sangat religius, percaya pada ramalan serta begitu fanatik dengan olahraga favorit mereka, yaitu sepakbola. Dalam sebuah adegan tampak Ricci dan Bruno bersantap di sebuah restoran mewah. De Sica secara brilyan mampu menunjukkan betapa jauhnya kesenjangan ekonomi. Seolah mereka (kalangan atas) hidup di dunia yang berbeda dengan dunia Ricci dan Bruno yang diperlihatkan pada kita.

Bagi Ricci sepeda miliknya merupakan harapan untuk bisa membawa kehidupan keluarganya menjadi lebih sejahtera. Ketika sepeda tersebut hilang maka harapannya pun turut sirna. Ricci tidak hanya kehilangan sepeda namun juga kehilangan segalanya termasuk harga dirinya. Di dalam gereja yang dipenuhi jemaat, Ricci memaki-maki dengan suara keras seseorang yang dianggapnya mengetahui orang yang telah mencuri sepedanya. Di sebuah pemukiman Ricci mengancam dan menuduh seorang warga telah mencuri sepedanya. Paling hina adalah ketika Ricci yang frustasi akhirnya memutuskan untuk mencuri sebuah sepeda. Sang anak berlinang air mata melihat ayahnya (si pencuri sepeda) dikejar-kejar belasan orang hingga akhirnya tertangkap. Film diakhiri dengan gambar Ricci dan Bruno yang bergandengan tangan berjalan menjauhi kamera. Sepeda (harapan) Ricci masih hilang dan selamanya mungkin tidak akan pernah mereka temukan. Tidak jelas nasib mereka esok atau hari-hari berikutnya. Sebuah kondisi mirip realitas sosial dan ekonomi yang dialami masyarakat Italia kala itu.

Artikel SebelumnyaSeikat Kata dari Perjalanan ke Prancis
Artikel BerikutnyaDari Redaksi mOntase
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.