Selama hampir dua dekade sinema Italia dibawah kontrol penuh pemerintahan fasis dibawah pimpinan Benito Mussolini (1922–1945). Mussolini menyadari betul bahwa ia dapat memanfaatkan medium sinema untuk tujuan propaganda. Di tahun 1933, Mussolini membentuk Direzione Generale per la Cinematografia sebuah dewan yang bertugas menyensor semua naskah film yang akan diproduksi. Naskah-naskah film yang disetujui mendapat subsidi dari pemerintah hingga 60% dari biaya produksinya. Sementara naskah film yang bertema murni pro-fasis mendapatkan subsidi hingga 100%.

Di tahun 1935, Mussolini membentuk Ente Nazionale Industrie Cinematografiche (ENIC) yang melengkapi campur tangan pemerintah di semua aspek industri sinema melalui kontrol penuh seluruh mata rantai distribusi film di Italia. Seluruh film asing (didominasi film-film Hollywood) yang masuk harus melalui jalur ini untuk sekaligus diseleksi untuk kemudian di-dubbing bahasa Italia. Mussolini juga membentuk Centro sperimentale di cinematografia sebuah sekolah film yang masih eksis hingga kini serta studio film Cinecitta di Roma Tujuannya jelas untuk membantu para sineas lokal untuk memproduksi film-film bertema pro-fasis. Mussolini juga adalah sosok yang memprakarsai ajang Venice Film Festival yang dimulai sejak tahun 1932.

>Sistem kontrol demikian ketat berakibat pada semua film-film Italia yang diproduksi adalah bertema pro-fasis dan memiliki prinsip serta ideologi kebangsaan yang kuat. Film-film yang secara terang-terangan mengusung tema propaganda diistilahkan dengan “black film”. Tujuan film ini adalah untuk mempertebal semangat rasa kesatuan dan persatuan rakyat Italia. Sementara film yang banyak diproduksi pada masa ini diistilahkan “pink film”. Film jenis ini juga menganut idealisme fasis dan lebih sekedar merupakan hiburan ringan yang mampu menutup realitas sosial yang porak-poranda akibat persengketaan politik. Salah satu jenis “pink film”, diistilahkan film “white telephone”. Film jenis ini umumnya mengadopsi film-film Hollywood dan memotret kehidupan masyarakat yang bahagia dan sejahtera.

Mendaratnya tentara sekutu di pantai Sicilia pada tanggal 10 Juli 1943 merupakan sinyal keruntuhan pemerintahan Mussolini. Di saat tentara sekutu berperang melawan Jerman di wilayah utara Italia, perlawanan separatis anti-fasis juga berlangsung di wilayah selatan. Dengan bantuan perlawanan separatis akhirnya tentara sekutu mampu menembus garis wilayah utara. Tanggal 25 April 1945 akhirnya rakyat Italia lepas dari pendudukan Jerman dan merdeka secara total. Di masa perlawanan tersebut beberapa sineas telah memproduksi beberapa film yang mengangkat kondisi serta realitas yang sesungguhnya terjadi.

Salah satu film yang menonjol berjudul Obsession (1943) arahan Luchino Visconti. Film ini mengangkat tema kemiskinan dan penderitaan akibat tekanan sosial dari rezim penguasa yang disajikan dengan pesimistik dan dingin. Obsession menandai perkembangan sebuah era sinema Italia ke arah yang baru. Awal kemunculan gerakan neorealisme ditandai melalui film Open City (1945) arahan Roberto Rossellini. Rosselini bahkan memulai produksi film ini sejak tahun 1943, ketika tentara Jerman masih menduduki kota Roma. Berbeda dengan film-film di era sebelumnya, Open City merupakan sebuah kisah tragis yang memotret perjuangan manusia melawan belenggu penjajahan. Film ini mampu menggambarkan realitas politik yang sebenarnya terjadi di balik segala keindahan yang ditampilkan pemerintahan Mussolini.

Baca Juga  Dari Redaksi mOntase

Dalam perkembangannya film-film bertema sejenis mulai bermunculan. Film-film ini secara umum menampilkan realitas politik dan sosial yang terjadi pada masyarakat Italia masa itu. Tendensi inilah yang kemudian dikenal sebagai gerakan sinema neorealisme, sebuah gerakan “new realism” atau sebuah realitas baru. Walau film-film neorealis ini umumnya kurang berhasil di pasaran namun secara kritik mereka mencapai hasil yang luar biasa. Seperti Shoeshine (1946) serta film landmark gerakan ini, The Bicycle Thief (1949) keduanya arahan Vittorio De Sica, masing-masing mendapatkan penghargaan Oscar.* Film-film neorealis lainnya yang menonjol antara lain, Paisan (1946) dan Germany Year Zero (1947) keduanya karya Rosselini, La Terra Trema (1948) karya Visconti, Bitter Rice (1949) karya Giuseppe De Santis, kemudian Miracle in Milan (1951) dan Umberto D (1951) karya De Sica.

Secara tema film neorealis umumnya mengangkat tema kemiskinan dan ketidakadilan. Sangat kontras dengan film-film berjenis “white telephone”. Karakter dan tokohnya biasanya berasal dari kalangan bawah, seperti buruh, nelayan, petani, pekerja kasar, bahkan pengangguran. Semua film-film neorealis menekankan pada aspek emosional ketimbang ide-ide yang bersifat abstrak, selalu menghindari dan melakukan perlawanan terhadap bentuk naratif konvensional. Tragedi selalu menjadi menu utama dalam film-film neorealis. Umumnya mereka selalu memiliki akhir menggantung, tragis, penuh penyesalan dan ketidakbahagiaan.

Secara estetik film-film neorealis memiliki ciri-ciri unik yakni melakukan syuting di lokasi sesungguhnya seperti di jalanan kota atau desa, pemukiman, pasar serta ruang-ruang publik lainnya. Ciri utama lainnya adalah penggunaan pemain non-aktor sehingga mampu memperbesar efek realisme serta orisinalitas tiap adegannya. Film-film neorealis umumnya menggunakan teknik dubbing serta menggunakan bahasa sehari-hari dan menghindari pemakaian bahasa formal. Dengan pengambilan gambar di lokasi sesungguhnya serta penggunaan dubbing menyebabkan pergerakan karakter serta kamera menjadi lebih leluasa. Secara umum film-film neorealis bentuknya sangat sederhana dan jarang sekali menggunakan efek kamera.

aktor politik, ekonomi dan budaya yang memicu gerakan neorealisme timbul namun faktor tersebut jugalah yang membuat gerakan tersebut memudar. Kondisi perekonomian yang membaik dan rakyat Italia yang mulai sejahtera membuat pemerintah kurang menyukai film-film yang menyorot masalah kemiskinan. Beberapa kebijakan pemerintah mulai menghambat gerakan neorealis hingga para sineas tidak lagi memperoleh kebebasan. Gerakan sinema neorealisme boleh dibilang bukan merupakan gerakan sinema yang sifatnya inovatif secara sinematik. Namun merupakan sebuah gerakan sinema yang mampu merubah sinema secara sosial, politik maupun sejarah. Elemen-elemen estetik neorealis sendiri masih selanjutnya masih tampak dalam karya-karya sutradara besar Italia lainnya seperti, Federico Fellini dan Michelangelo Antonioni; lalu film-film karya sutradara besar India, Satyajit Ray; serta film-film gerakan New Wave Perancis.

Artikel SebelumnyaFrench Tech (Festival Sinema Prancis)
Artikel BerikutnyaGod’s Country
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

2 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses