Ketika ingin menonton film Nagabonar jadi 2 ada sedikit rasa khawatir dalam diri saya. Pertama, saya belum menonton film Nagabonar (1986) arahan Asrul Sani. Kedua, saya masih pesimis dengan mutu film kita, apakah menonton film ini sepadan dengan kepuasan setelah menonton. Ternyata semua hal tersebut tidak terbukti. Saya keluar dari bioskop dengan perasaan amat terpuaskan. Tokoh Nagabonar adalah rekaan Asrul Sani, seorang pencopet yang kemudian mengangkat dirinya menjadi jenderal pada masa perang kemerdekaan. Tokoh Nagabonar diperankah oleh Deddy Mizwar yang kala itu meraih Piala Citra sebagai aktor terbaik. Dalam film Nagabonar Jadi 2 dikisahkan Nagabonar (Mizwar) masih hidup di kebun kelapa sawitnya di Medan, setia mengunjungi makam emak-nya, istri dan sahabatnya, Bujang setiap harinya. Kisah berkembang ketika putranya, Bonaga (Tora Sudiro) mengundangnya ke Jakarta dimana putranya sekarang telah menjadi seorang eksmud, lulusan Inggris. Selama di ibukota Nagabonar terlibat dalam beberapa petualangan lucu dan haru yang mengusik rasa kebangsaannya.
Tidak banyak film kita saat ini yang mengangkat tema kebangsaan. Film mengajak kita untuk menghargai jerih payah para pahlawan yang berkorban jiwa dan raga untuk kemerdekaan kita. Nagabonar jadi 2 menyindir kehidupan kita saat ini yang tidak lagi memahami makna dan hakekat kemerdekaan. Sang sutradara mampu menampilkannya dengan cerdas dan wajar tanpa berkesan menggurui serta memojokkan masyarakat modern. Seperti ketika Nagabonar bersama tukang bajaj bernama Umar keliling kota Jakarta. Nagabonar minta diantar ke makam Jenderal Sudirman (pada detik ini saya sempat bertanya, “memangnya makamnya di jakarta ya?”). Umar pun menjawab bahwa makam sang jenderal berada di Jogja namun ia berinisatif mengajaknya ke Patung Jenderal Sudirman di Tosari. Dalam perjalanan mereka dihentikan oleh polisi yang melarang memasuki kawasan bebas bajaj. Nagabonar berceloteh mengapa ada peraturan yang melarang bajaj masuk, seperti Belanda (penjajah) saja sambungnya.
Di tempat ini Nagabonar tertegun melihat patung sang jenderal yang memberi hormat pada kendaraan yang lalu lalang. Nagabonar bertanya, “Siapa yang kau beri hormat Jenderal, apakah mobil-mobil tersebut karena mereka beroda empat, Turunkan tanganmu Jenderal! Nagabonar memaksa untuk menurunkan tangan patung sang jenderal. Saya menangis pada adegan ini dan untuk pertama kalinya rasa kebangsaan saya terusik Saya tidak mengenal Nagabonar namun saya bisa merasakan apa yang ia rasakan. Entah karena larangan bajaj yang tidak boleh memasuki jalan tersebut dan sang patung malah menghormati kendaraan yang lewat atau haru melihat Nagabonar yang telah berjuang agar kita bisa merasakan kemerdekaan namun ia (saya) melihat bahwa kini kemerdekaan itu sudah tidak ada.
Adegan lain yang membuat saya haru adalah ketika Bonaga mengajak ayahnya ke tempat para eksmud berkumpul. Tokoh Bonaga dan ketiga rekannya mewakili karakter pemuda kota yang cerdas, kaya, sukses, serta single. Orang-orang yang berusaha keras mencapai kedudukannya tidak seperti Umar yang dianggap Bonaga sebagai orang yang kurang berusaha. Tempat tersebut ternyata dugem di mana Bonaga dan ketiga kawannya bersuka-ria sepanjang malam. Saya tersentuh melihat Nagabonar kecewa melihat bagaimana anak-anak muda bersuka-ria yang dianggapnya merupakan tindakan salah untuk menikmati kemerdekaan ini.
Nagabonar bukanlah sosok seorang pahlawan. Ia hanya sosok orang tua yang sederhana, keras, humoris, dan suka bermain bola. Namun ia mampu menunjukkan pada kita apa arti pahlawan dan bagaimana kebebasan hasil perjuangan para pahlawan di masa lalu tidak mampu kita gunakan dengan semestinya. Nagabonar jadi 2 mengingatkan pada kita sifat kebangsaan yang saat ini mulai luntur dimana individualitas dan keberhasilan personal menjadi ukuran terpenting.
Audina Furi Nirukti