Dua Hati Biru merupakan film sekuel dari Dua Garis Biru (2019) yang masih diarahkan oleh Gina S. Noer dan kini bersama Dinna Jasanti. Sayangnya, sang bintang, Adhisty Zara tidak bermain lagi dalam kisah lanjutannya ini yang digantikan oleh Aisha Nurra Datau. Para kasting sebelumnya masih sama, yakni Angga Yunanda, Cut Mini Theo, Lulu Tobing, Arswendy Bening Swara, Maisha Kanna, serta pendatang baru bintang cilik Farrell Rafisqy dan Keanu AGL. Mampukah film sekuelnya ini menyamai sukses kritik dan komersial yang meraih lebih dari 2,5 juta penonton?

Film ini mengisahkan empat tahun sejak peristiwa dalam Dua Garis Biru, di mana setelah melahirkan putranya, Dara pun bertolak ke Korea Selatan untuk melanjutkan studinya. Sang putra yang bernama Adam dirawat oleh Bima bersama kedua orang tuanya, dan selama itu mereka hanya berkomunikasi melalui video call. Dara yang akhirnya pulang ke Indonesia disambut dingin oleh Adam, namun perlahan sang ibu pun bisa menjalin komunikasi. Masalah mulai muncul, ketika Bima menginginkan untuk keluar dari rumah orang tuanya untuk bisa hidup mandiri. Dara pun mendukung sang suami, namun mental keduanya yang masih labil menjadikan komunikasi mereka kurang harmonis yang berefek pada Adam.

Dua Garis Biru yang sempat menuai kontroversi pada rilisnya memang boleh disebut sebagai salah satu film Indonesia berkualitas melalui tema, intensitas dramatik, kemasan visual, serta penampilan memikat para kastingnya. Ekspektasi terhadap film sekuelnya pun tentu besar, mengingat penulis naskah sekaligus sutradara yang sama masih terlibat penuh. Namun sayangnya, jika dibandingkan dengan Dua Garis Biru, Dua Hati Biru sedikit banyak mengecewakan.

Satu poin terbesar adalah Adhisty Zara yang digantikan oleh Aisha Nurrau Datau. Penampilan Zara jelas sangat berbeda karakter dengan Aisha yang lebih dingin, sekalipun sosok Dara yang diperankannya kini sudah makin dewasa. Ada sesuatu yang hilang akibat pergantian kasting ini karena Zara memang memiliki talenta akting yang berbeda dengan aktris penggantinya. Ini juga banyak dipengaruhi sisi cerita yang di luar dugaan justru memiliki banyak kelemahan jika dibandingkan Dua Garis Biru.

Intensitas dramatik yang begitu tinggi dalam Dua Garis Biru, rupanya tidak bisa berlanjut dalam sekuelnya. Alur plotnya berjalan lambat dengan konflik yang relatif datar. “Ancaman” yang begitu hebat pada Dua Garis Biru kini tidak mampu kita rasakan sama sekali. Konfliknya banyak merujuk pada masalah sehari-hari yang sebenarnya bukan menjadi masalah besar dan ini pun sering kali dipaksakan. Sudah empat tahun lamanya berselang, Bima bersama orang tuanya membesarkan Adam. Ini sungguh mengherankan karena selama itu Bima hanya mampu bekerja di tempat bermain anak? Mengapa sang orang tua tidak menuntut Bima untuk melakukan sesuatu yang lebih untuk masa depan anaknya? Ini tentu menggelikan dan tidak sesuai dengan tuntutan Bima setelahnya yang ingin mandiri. Tidak sedikit pula konflik-konflik “kecil” yang rasanya aneh dan janggal yang semestinya sudah bisa dipahami betul oleh Bima dan Dara dengan segala situasinya selama 4 tahun hubungan mereka.

Baca Juga  End of Watch

Apa yang sebenarnya terjadi dalam empat tahun hubungan mereka, tidak pernah dipaparkan secara tegas. Semua seolah fine-fine saja dan waktu sedemikian lama hanya diwakili oleh hubungan Dara dan Adam yang berjarak secara selintas di awal. Masalah-masalah sampingan, sebut saja, ayah Bima yang sakit, orang tua Dara yang bercerai, hingga masalah Dara di tempat kerjanya, tidak pernah ada relasi kuat dengan plot utamanya yang fokus pada ego dan prinsip yang diyakini pasangan muda tersebut. Tidak ada ancaman “kuat” dalam plotnya membuat alur kisahnya menjadi datar dan mudah terantisipasi. Naskahnya memilih jalan aman tanpa berani mengambil resiko yang lebih besar, misal saja, Ayah Bima meninggal atau Ibu Dara yang mendadak jatuh miskin. Ini tentu bakal memberikan tekanan yang berbeda bagi Bima dan Dara.

Kisah yang lemah tentu berefek pada permainan para pemainnya. Nyaris seluruhnya, khususnya Aisha Nurra Datau tidak mampu bermain menggigit seperti yang diharapkan. Satu contoh gamblang adalah pengulangan adegan long take Dua Garis Biru pada adegan emosional di ruang UKS yang kini berpindah ke kamar di rumah kontrakan Bima dan Dara. Satu adegan panjang yang bermula dari penyataan Dara untuk ingin kembali ke Korea dan meninggalkan Adam dan Bima, sama sekali tidak terlihat emosional, namun justru menggelikan. Adegan ini tidak mampu memberi emosi yang cukup bagi para karakternya untuk bisa membangun intensitas drama yang membekas layaknya adegan di Dua Garis Biru. Semua terasa datar layaknya tengah berlatih adegan, dan terlihat sekali teknik long take justru memaksa untuk digunakan. Bicara soal kasting, justru yang mencuri perhatian adalah permainan si bintang cilik Farrell Rafisqy serta sahabat Bima yang diperankan Keanu AGL yang mampu menghidupkan beberapa adegan.

Dua Hati Biru, sebuah sekuel tentang parenting yang datar dan kalem tanpa konflik berarti, serta terasa lepas dengan ketidakhadiran pemeran aslinya. Film ini juga masih mencoba bermain-main dengan bahasa visual, seperti komposisi shot, latar depan dan belakang, permainan pantulan cermin, hingga sosok ondel-ondel, namun tidak mampu membekas seperti film pertamanya yang memilki banyak sajian shot yang memorable. Film ini sesungguhnya memiliki banyak potensi jika lebih berani mengambil resiko. Namun tetap saja, kelemahan terbesar adalah ketidakhadiran Adhisty Zara yang memiliki chemistry lebih kuat dengan pasangan mainnya. Ekspresi wajah, tatapan mata, hingga gestur-gestur kecil adalah satu dari sedikit hal yang tidak dimiliki pemain penggantinya. Rasanya ini bisa menjadi faktor yang menghalangi sukses komersial seperti sebelumnya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
55 %
Artikel SebelumnyaITAFF 2024 Tayangkan Lima Film Italia Pilihan dari Venice International Film Festival
Artikel BerikutnyaRebel Moon – Part Two: The Scargiver
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.