End of Watch (2012)
109 min|Action, Crime, Drama|21 Sep 2012
7.6Rating: 7.6 / 10 from 270,763 usersMetascore: 68
Shot documentary-style, this film follows the daily grind of two young police officers in LA who are partners and friends and what happens when they meet criminal forces greater than themselves.

Kisah tentang polisi entah sudah berapa banyak diangkat ke layar bioskop. End of Watch adalah salah satunya yang mencoba tampil berbeda dengan mengangkat keseharian serta sentuhan humanis dengan kemasan a la dokumenter. Brian Taylor (Gylenhaal) dan Mike Zavala (Pena) adalah dua polisi muda yang juga partner dan bersahabat kental. Mereka berdua adalah polisi yang jujur dan berdedikasi tinggi. Kisah film berjalan menampilkan keseharian mereka dalam menjalankan tugas yang tak jarang membahayakan jiwa mereka hingga bahkan suatu ketika mereka meraih medali tanda jasa. Suatu kali secara tidak sengaja penyergapan mereka mengusik bisnis seorang kartel asal Meksiko. Sang bos lalu memerintahkan anak buahnya untuk melenyapkan Brian dan Mike.

Tak ada konflik cerita yang kuat sepanjang filmnya. Kisahnya hanya benar-benar menyuguhkan keseharian Brian dan Mike dalam menjalankan rutinitas mereka. Kisahnya justru malah menekankan hubungan erat diantara mereka berdua yang bersahabat layaknya saudara kandung. Sisi manusiawi begitu kental dalam filmnya, terutama bagaimana mereka menghadapi masalah pribadi mereka. Walau tidak ada konflik yang kuat namun penampilan memukau dari Gylenhaal dan Pena yang menjadi daya tarik film ini. Mereka berdua tampil ekspresif dan enerjik namun juga mampu tampil natural apa adanya tanpa ada sesuatu yang dilebih-lebihkan. Chemistry kuat diantara kedua tokoh ini serta sentuhan humor adalah satu faktor yang mampu mengalahkan kisahnya yang datar nyaris sepanjang film.

Baca Juga  Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children

Film ini dikemas dengan gaya dokumenter menggunakan kamera yang dibawa Brian, serta dua mini kamera yang ditambatkan di dada Brian dan Mike. Namun film ini juga menggunakan sumber kamera lain seperti kamera milik para gangster, kamera CCTV, dan entah apa lagi. Seolah sejak awal memang terlihat film ini adalah hasil editan footage dari kamera-kamera tersebut (seperti film-film found footage kini lazimnya) namun nyatanya tidak. Sumber kamera tidak konsisten dengan seringkali menampilkan sudut-sudut kamera yang bukan berasal dari kamera dalam dunia cerita. Lalu juga gerak kamera seringkali amat kasar sehingga sangat-sangat tidak nyaman untuk ditonton. Sebenarnya bukan masalah sumber kamera tidak konsisten atau gerak kamera yang kasar namun teknik-teknik ini justru menjauhkan penonton untuk bisa larut dalam filmnya. Ini problem terbesar filmnya.

End of Watch sebenarnya adalah film yang menarik terutama karena penampilan menawan dua aktornya, namun kemasan “dokumenter” dengan teknik video footoge dan handheld yang kelewat kasar membuat film ini menjadi kurang nyaman untuk ditonton. Kisah yang datar terbalas dengan ending-nya yang sangat dramatik. Sebagai penutup, melihat film ini serasa melihat tayangan acara tv tentang polisi “live in action” yang sering kita lihat di layar kaca. Jika Anda memang tahan dengan penyajiannya yang “kasar” rasanya Anda bisa menikmati film ini lebih baik dari saya.

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaDari Redaksi mOntase
Artikel BerikutnyaAntara Bioskop dan Rating Film
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.