The Blair Witch Project (1999)
81 min|Horror, Mystery|30 Jul 1999
6.5Rating: 6.5 / 10 from 306,527 usersMetascore: 80
Three film students vanish after traveling into a Maryland forest to film a documentary on the local Blair Witch legend, leaving only their footage behind.

The Blair Witch Project (1999) merupakan film independen fenomenal yang kini masih memegang rekor rasio prosentase keuntungan dengan bea produksi terbesar sepanjang masa. Film yang diarahkan oleh Daniel Myrick dan Eduardo Sánchez ini berbujet US$35 ribu (sekitar 30-jutaan rupiah) dengan harapan untuk tayang di tv kabel. Namun nasib berkata lain. Setelah sukses di ajang Sundance, Artisan membeli hak siar untuk tayang di bioskop hingga kelak film ini sukses luar biasa hingga melewati angka US$200 juta di seluruh dunia.

Plot filmnya sangat sederhana. Tiga orang mahasiswa, Heather Donahue, Joshua Leonard, dan Michael Williams berencana membuat film dokumenter tentang mitos tua, “The Blair Witch”, di wilayah hutan Burkittsville, Maryland, Amerika Serikat. Setelah persiapan, mereka menuju ke wilayah tersebut dan mewawancara penduduk setempat tentang kebenaran mitos tersebut.

Hari berikutnya mereka masuk ke dalam hutan dan berjalan kaki menuju lokasi. Mereka masuk jauh ke dalam hutan hingga akhirnya menemukan areal pemakaman tua angker yang menjadi sumber mitos tersebut. Mereka bermalam di sana dan mengambil semua gambar yang diperlukan untuk keperluan dokumentasi mereka. Setelah dirasa cukup mereka akhirnya berniat kembali ke kota dan disinilah masalah bermula. Mereka kehilangan arah hingga tersesat. Kegelisahan semakin menjadi ketika menyadari ternyata mereka tidak sendirian di dalam hutan.

Walau dengan plot yang sederhana namun istimewanya unsur ketegangan yang dibangun demikian tinggi dan mencekam dari waktu ke waktu. Bahkan sejak awal film kita sudah mendapatkan informasi jika ketiga muda-mudi tersebut entah hilang atau tewas. Namun karena penuturan cerita yang dibangun begitu efektif dan menegangkan kita seolah dibuat lupa akan informasi di awal film tersebut. Kita sungguh-sungguh bisa merasakan rasa cemas, bingung, frustasi, hingga rasa takut seperti yang dialami ketiga karakter tersebut. Aspek-aspek teknisnya yang banyak menggunakan konsep gaya dokumenter memang sangat mendukung cerita filmnya.Semua adegan diambil menggunakan teknik handheld camera karena memang film ini dikisahkan hanya merupakan hasil edit rekaman video yang ditemukan setahun setelah mereka menghilang. Film juga menggunakan teknik hitam-putih dan berwarna secara bergantian dengan tata cahaya yang natural. Penggunaan teknik-teknik tersebut menyebabkan film ini begitu realistik seolah kisahnya benar-benar terjadi. Point of View (POV) shot dari mata kamera (sepanjang film) begitu efektif membatasi informasi hingga mampu menimbulkan unsur kejutan dan ketegangan yang luar biasa, karena penonton hanya melihat dan mendengar persis seperti apa yang dialami para karakter. Hal ini terutama tampak pada sekuen akhir yang begitu menegangkan.

Baca Juga  Dari Redaksi mOntase

Faktor kunci sukses lainnya adalah terkait dengan strategi pemasarannya. Artisan membuka website resmi yang memperlihatkan bukti-bukti nyata jika semua kejadian yang ada di film tersebut seolah sungguh-sungguh terjadi. Trailer dan poster film juga mampu mengarahkan orang jika film ini merupakan film dokumenter sungguhan. Artisan bahkan membuat sebuah film dokumenter palsu yang ditayangkan di televisi sesaat sebelum rilis yang berisi wawancara keluarga dan teman dari ketiga orang yang hilang, sejarawan, hingga paranormal. Walau kasus seperti film ini bisa dibilang amat langka namun setidaknya The Blair Witch Project telah membuktikan bahwa film berbiaya begitu minim ternyata bisa berkualitas (inovatif) serta menghasilkan keuntungan yang demikian besar. Ayo! Kita pasti juga bisa.

Artikel SebelumnyaPercobaan Studi Psikologis dalam Fiksi
Artikel BerikutnyaPulp Fiction, Penghidup Tren Non Linier
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses