The Long Walk adalah film aksi thriller yang diadaptasi dari novel bertitel sama (1979) karya penulis horor legendaris Stephen King. Film ini digarap oleh sineas kawakan, Francis Lawrence yang kita kenal dengan film-film boxoffice larisnya, seperti I Am Legend (2007) hingga seri The Hunger Games. Film ini dibintangi oleh Cooper Hoffman, David Jonsson, Garrett Wareing, Ben Wang, Judy Greer, serta aktor gaek Mark Hamill. Bermodal adaptasi sumber dan sentuhan sang sineas, apakah The Long Walk Mampu memberikan sentuhan segar bagi genrenya?
Di masa distopia, pasca perang, AS kini dipimpin oleh rezim militer yang bengis di bawah pimpinan The Major (Hammil). Untuk menenangkan situasi yang kacau balau, sang mayor secara rutin membuat lomba berjalan yang berhadiah sangat besar. Setiap kontestan dipilih mewakili tiap negara bagian AS yang berjumlah 50. Mereka harus berjalan sejauh berapa pun hingga bersisa hanya satu orang sebagai pemenang. Melanggar aturan atau berhenti bermain, berarti ditembak di tempat. Dua orang pemuda yang berlatar belakang berbeda, Raymond (Hoffman) dan Peter (Jonsson) turut ikut berlomba. Problem utama bukan hanya fisik, tetapi juga ikatan batin dan emosional yang terjalin di antara sesama peserta.
Permainan atau lomba brutal di era distopia memang bukan hal baru dalam medium film, sebut saja Death Race 2000 (1975), Rollerball (1975), higga Running Man (1987). Franchise populer masa kini, macam The Purge hingga The Hunger Game juga memiliki tone senada. Lalu mengapa The Long Walk baru diadaptasi sekarang? Bisa jadi akibat kisahnya tidaklah glamor dan megah seperti film-film diatas yang menawarkan aksi permainan brutal gila-gilaan dengan segala properti dan latar modernnya. Kisah dan latar The Purge bisa jadi lebih terasa dekat karena latar waktu dan set yang realistis.
The Long Walk memiliki plot sederhana dan ringkas. Alur plotnya nyaris tidak pernah berhenti sedetik pun. Momen intens pun tidak banyak tersaji sekalipun aksinya selalu membuat penonton penasaran. Siapa yang akan selamat dan bagaimana semuanya bakal berakhir? Elemen kejutan menjadi dominan karena perspektif cerita selalu disajikan dari sisi peserta (nihil perspektif pemirsa). Tanpa banyak aksi menegangkan, plotnya justru didominasi oleh dialog. Dialog ini yang membangun chemistry antara karakternya. Kadang, dalam beberapa momen, kita merasakan jenuh karena aksi yang repetitif. Ibarat kelelahan peserta pun, sungguh-sungguh bisa kita rasakan. The Long Walk rasanya memang bukan untuk tontonan semua orang. Alasannya bukan pula karena aksi-aksi brutal di sela-selanya.
Sang sineas, Francis Lawrence, telah mahir dengan konsep cerita macam ini melalui The Hunger Games. Sepertinya ini adalah alasan utama mengapa ia dipilih untuk mengarahkan The Long Walk. Relasi dan chemistry antar karakter menjadi salah satu sisi menarik kisahnya, seperti tersaji dalam The Hunger Games. The Long Walk jelas lebih membumi dan manusiawi. Dalam prosesanya, mental seseorang pasti akan terganggu oleh hantaman kelelahan fisik sehebat itu. Melalui sentuhan estetiknya, momen demi momen tersaji dengan apik dengan variasi ragam set yang selalu berbeda. Akting dan ekspresi para pemain bukan pula hal yang mudah karena dari waktu ke waktu mereka harus selalu terlihat berbeda, Â lebih lelah, baik raga, psikis, maupun mental.
Premis menarik yang relevan dengan situasi masa kini, sayangnya The Long Walk bukanlah film pertama dan terbaik yang menawarkan pesan senada. Seri Hunger Games dan The Purge saya anggap sedikit lebih baik dari ini. Chaos society adalah pokok cerita terbesarnya. Sesuatu yang bisa kita rasakan sekarang di belahan bumi manapun, termasuk di negeri kita. Ini sekali lagi membuktikan bahwa medium film mampu merefleksikan masanya, sejak era silam. Penonton pun, mau tak mau harus menyadari bahwa sebuah film sering kali bukanlah tontonan yang menghibur semata. Nilai dan pesan dalam film adalah sesuatu hal yang membuat karya seni sering kali diapresiasi demikian tinggi.