Bagaimana jika Peter tidak datang ke tenda peramal? Bagaimana bila si penyihir tidak mengucapkan mantra yang kuat? Bagaimana jika dan bagaimana jika sesuatu yang ajaib dan misterius memang sedang terjadi di kota Baltese? Apabila kalian penyukai animasi fantasi, maka kalian bisa menyaksikan The Magician’s Elephant yang sudah bisa disaksikan di Netflix. Kalian juga akan tahu jawaban hubungan antara anak laki-laki tersebut dengan penyihir, dan gajah.
Cerita berpusat pada anak laki-laki bernama Peter. Ia diasuh oleh mantan tentara yang telah menua, Vilna Lutz. Setiap harinya ia dilatih hidup sebagai prajurit, baris-berbaris serta hanya menyantap roti basi dan ikan yang paling kecil. Hingga suatu ketika Peter nekat menggunakan uang Vilna untuk mendatangi tenda peramal. Si peramal memberitahukan hal yang mengejutkannya. Adik perempuannya ternyata masih hidup. Ketika ia menanyakan cara menemukannya, peramal memberitahukan hal yang terasa mustahil. Ia diminta mengikuti si gajah. Tapi keajaiban bisa saja kembali terulang di kota Baltese. Tanpa sengaja si penyihir merapal mantra yang kuat di atas panggung. Seekor gajah jatuh dari langit dan menimpa kaki Madam LaVaughn.
Film animasi The Magician’s Elephant diangkat dari buku berjudul sama karya Kate DiCamillo. Kebetulan penulis adalah penggemar buku-buku Kate DiCamillo dan sudah membaca buku tentang gajah si penyihir ini. Tak sedikit karya Kate yang telah dilayarlebarkan. Di antaranya Because of Winn-Dixie, The Tiger Rising, The Tale of Despereaux, dan Flora & Ulysses: The Illuminated Adventures. Melihat keindahan visual The Tale of Despereaux, penulis jadi merasa antusias ketika Netflix mengumumkan akan menayangkan film produksi Animal Logic ini.
Namun sayangnya, adaptasi buku ini jauh dari ekspektasi. Yang paling terasa mengganggu adalah jalan ceritanya. Ada banyak perubahan dalam cerita film ini jika dibandingkan versi bukunya. Naskah cerita film ini digarap oleh Martin Hynes yang sebelumnya sukses menggarap naskah Toy Story 4. Sepertinya ia ingin memberikan cerita yang lebih berwarna dan lebih bombastis, dengan menambahkan cerita tentang sejarah kota dan penguasa negeri yang eksentrik. Alih-alih menarik, malah membuat cerita terasa klise dan ganjil.
Dalam buku, tidak disebutkan sejarah kota Baltese sebagai kota yang dulunya warganya percaya dengan sihir dan di kota itu penuh keajaiban seperti dalam film. Baltese seperti kota-kota kecil biasa. Penyihir yang datang ke kota tersebut itu juga seperti pesulap biasa. Alhasil atmosfer cerita menjadi terasa misterius dan magis ketika gajah itu tiba-tiba muncul dari langit. Namun dengan adanya latar cerita bahwa kota Baltese awalnya kota yang magis dan warganya dulu percaya sihir, maka cerita dalam film jadi generik, seperti yang sudah pernah terlihat di animasi-animasi lainnya. Nuansa misteriusnya jadi kurang terasa.
Kedatangan raja yang eksentrik dengan tiga tantangan yang harus dipenuhi Peter juga terasa mengada-ada. Dua tantangannya tak masuk akal untuk seorang anak kecil, walaupun Peter anak kecil yang tangguh. Ini adalah tambahan cerita yang tak perlu. Akan lebih baik jika cerita difokuskan ke hubungan Peter dan si gajah yang di dalam buku lebih intens dan menyentuh.
Sementara untuk visualnya, kurang menggugah dan berkesan. Buku Kate ini dihiasi oleh ilustrasi yang menawan dan selaras dengan atmosfer dan bukunya, terasa suram dan misterius, pas menggambarkan unsur magis yang tiba-tiba muncul di suatu kota. Sementara dalam film animasi ini, Peter terasa lebih tua dari usianya yang masih 10 tahun. Visual untuk memperlihatkan nuansa magis dalam film ini juga hambar.
Mungkin ada yang berpendapat tak adil membandingkan sebuah buku dan adaptasinya. Namun buku ini karya Kate yang populer dan banyak penggemarnya, sehingga mau tak mau akan ada penonton yang membandingkan keduanya. Selain itu, apabila penulis sebagai penonton awam pun, juga tetap akan kurang terkesan dengan film yang dibesut oleh Wendy Rogers.