trigger warning

Setelah aktor-aktor top kita bermain di film-film besar Hollywood, akhirnya sineas kita pun mampu menembusnya, dan Mouly Surya bukanlah pembuat film yang saya pikir bakal ada di sana terlebih dulu. Trigger Warning adalah film aksi yang merupakan debut film berbahasa Inggris sang sineas yang didistribusikan oleh Netflix. Film ini dibintangi Jessica Alba, Anthony Michael Hall, Marc Webber, dan Jack Weary. Akankah film ini mampu mengembalikan pamor sang bintang dan melambungkan nama Mouly Surya?

Parker (Alba) adalah seorang anggota tentara khusus AS yang tangguh di lapangan. Ia mendapat kabar bahwa sang ayah tewas kecelakaan karena tertimbun longsor di tambang miliknya. Di tengah dukanya, Parker mulai mencurigai adanya kejanggalan yang terjadi pada kematian sang ayah. Selidik punya selidik, Parker akhirnya mengetahui keterlibatan warga lokal dalam jual beli senjata dari gudang militer AS di kotanya. Lebih jauh, Parker juga mendapati keterlibatan politikus berpengaruh lokal yang kini mencalonkan diri menjadi senator. Investigasi Parker justru membawa ke situasi yang membahayakan dirinya.

Kita kesampingkan dulu keterlibatan sineas kita dengan fokus pada kisahnya. Tipikal plot aksi macam ini sudah melimpah ruah, dari film kelas A hingga B. Di mana sang protagonis melakukan investigasi pada seorang keluarga, rekan dekat, atau kolega mereka yang tewas atau dianggap tewas, namun justru membawa sang jagoan ke dalam situasi yang semakin pelik. Formula plot macam ini juga biasanya tak sulit untuk diprediksi dan lebih mengutamakan aksi ketimbang cerita, serta teramat jarang memiliki kualitas di atas rata-rata. Trigger Warning bukanlah satu sampel yang ideal untuk genrenya, bahkan boleh dibilang amat buruk, baik cerita maupun aksinya. Sang bintang pun tak mampu mengangkat filmnya.

Gelagat buruk sebenarnya sudah tampak dari sekuen pembuka dengan satu aksi yang boleh dibilang tak masuk diakal. Masuk ke plotnya, cerita mulai bergulir menarik, bahkan ada isu penting di sini, jual beli ilegal senjata berat militer. Parker tak butuh lama untuk bisa melihat keterlibatan oknum militer dengan warga kota, namun anehnya, informasi maha penting ini tidak bisa kita rasakan urgensinya. Secara jelas, ia juga tahu persis keterlibatan orang besar di kota tersebut, namun why oh why, Parker tidak melaporkan hal tersebut ke FBI, polisi kota sebelah, ataupun rekan militernya sesegera mungkin. Cerita berlanjut dan momennya sudah terlambat. Jika dicermati, kelemahan sejenis tampak dalam banyak segmen cerita lainnya.

Baca Juga  Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children

Naskahnya tidak mampu memberikan intensitas dramatik yang menggigit serta sisi ketegangan yang cukup. Faktor editing (perpindahan scene) banyak mengambil peran di sini. Dalam banyak momen, beberapa adegan pindah melalui transisi “kasar” yang menghilangkan tone urgensi aksinya, bahkan mood. Adegannya terkesan melompat, seolah sesuatu yang terjadi sebelumnya bukanlah satu hal yang penting. Ini jarang sekali terjadi dalam film tipikalnya. Aksi-aksinya (perkelahian) yang disajikan pun, terhitung sudah jamak. Entah, apakah ini ada relasi dengan sentuhan sang sineas?

Kita tahu persis, Mouly Surya sebelumnya tidak pernah menggarap film-film aksi murni macam ini, sebut saja seperti The Raid atau 13 Bom di Jakarta. Sang sineas lebih sering menggarap film-film yang berorientasi ke festival, salah satunya yang mencuri perhatian internasional, Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017). Tema perempuan bisa jadi yang mencuri perhatian para produser, termasuk Alba, untuk memproduksi Trigger Warning. Namun, untuk membuat film-film aksi “hiburan” macam ini (B-movies sekalipun) butuh “particular skills” dan pengalaman yang rasanya belum cukup dimiliki Mouly Surya. Ini mengapa tempo dan ritme aksinya tidak mampu memberikan “sekadar” sisi ketegangan yang cukup untuk membawa penonton ikut terlibat ke dalam cerita, namun justru menendang mood penonton jauh-jauh. Jika saya disuruh memilih, saya akan menunjuk sineas 13 Bom untuk menggarap film ini.

Trigger Warning adalah sebuah debut “Hollywood” sineas kita yang jauh dari berkelas dengan kelemahan nyaris semua elemennya. Ini adalah sebuah kesempatan besar yang terlewat. Produser luar, lazimnya memberikan satu percobaan “kecil” bagi sineas debutan untuk menunjukkan kepiawaiannya. Saya masih ingat betul ketika sineas Hungaria, Nimród Antal memulai karirnya di Hollywood setelah film debutnya, Kontroll (2003) sukses di banyak festival besar. Aksi thriller mencekam bertitel Vacancy (2007) menjadi debut Hollywood-nya dan tes kecil ini rupanya berbuah besar pada lonjakan karirnya dengan menggarap Armored (2009) dan Predators (2010). Hingga kini pun, Antal masih eksis di Hollywood. Semoga ini bisa menjadi perhatian para sineas kita lainnya. Setidaknya kita patut berbangga, ada sineas kita yang dilirik oleh studio di barat sana.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaThe Bikeriders
Artikel BerikutnyaA Quiet Place: Day One
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.