Ultraman: Rising (2024)
117 min|Animation, Action, Adventure|14 Jun 2024
6.9Rating: 6.9 / 10 from 5,298 usersMetascore: N/A
Ken Sato is a superstar baseball player who returns to Japan to become the latest hero to carry the mantle of Ultraman. However, he is compelled to raise a newborn kaiju monster, the offspring of his greatest enemy, as his own child.

Sosok Ultraman menjadi salah satu ikon budaya populer Jepang yang mendunia sejak lebih dari lima dekade lalu. Ultraman begitu populer sejak tahun 1960-an dan selain medium film telah merambah beragam medium lainnya, seperti seri televisi, video gim, komik, beragam merchandise yang jumlahnya tak terhitung. Kali ini kolaborasi studio pemilik seri Ultraman, Tsuburaya Productions bersama Netflix Animation dan Industrial Light and Magic (ILM) memproduksi film animasi bertitel Ultraman: Rising.

Ultraman: Rising digarap dan ditulis oleh sineas debutan asal AS, Shanon Tindle yang pernah terlibat dalam film-film animasi populer, seperti The Croods dan Kubo and the Two Strings. Film ini diisi suara oleh Christopher Sean, Gedde Watanabe, Tamlyn Tomita, Keone Young, serta Julia Harriman. Film berdurasi 117 menit ini baru saja dirilis oleh Netflix, beberapa hari lalu. Akankah adaptasi sosok superhero legendaris ini mampu memberikan sesuatu yang segar, untuk seri maupun genrenya?

Kenji Sato (Sean) adalah pemain baseball ternama berwatak egois dan penyendiri yang kini memutuskan untuk kembali ke negara asalnya (Jepang) setelah lama bermain di AS. Rupanya, Kenji juga seorang Ultraman yang membantu memerangi para monster (Kaiju) yang menganggu kota, setelah sekian lama sosok pelindung ini tak muncul di sana. Namun, aksi Ultraman dianggap ilegal karena melangkahi otoritas berwenang, Kaiju Defense Force (KDF).

Suatu ketika, Ultraman berusaha mencegah KDF untuk membunuh seekor Kaiju bernama Gigantron. Gigantron pun tewas, namun Ultraman mendapatkan sebuah benda yang dilindungi oleh sang monster. Benda itu rupanya adalah telur raksasa yang tak lama akhirnya pecah dan di dalamnya terdapat bayi raksasa Gigantron. Sang bayi lucu itu pun menganggap Ultraman adalah induknya. Kenji bersama Mina, robot setianya, terpaksa merawat sang bayi hingga mereka mengetahui lokasi pulau para Kaiju. Kenji pun kewalahan untuk membagi waktu antara karirnya bermain baseball, membantu warga kota dari para Kaiju, serta merawat bayi Gigantron.

Untuk menonton ini kita memang membutuhkan eksposisi tentang tokoh Ultraman yang tidak dibutuhkan lagi untuk cerita film ini. Bagi yang belum pernah menonton serinya sama sekali, tentu sedikit kesulitan memahami konsep sosok Ultraman yang ras aslinya berasal dari planet Nebula M78, layaknya Superman dan Planet Krypton. Bentuk “super” mereka adalah sosok raksasa dengan kostum khas serta senjata andalan sorotan sinar melalui pose persilangan kedua tangannya. Tidak seperti ras Krypton, Ultraman tidak bisa permanen menjadi sosok raksasa super. Mereka punya semacam lampu “indikator” berwarna biru di dadanya dan berubah menjadi merah jika energi kritis/menipis hingga harus kembali ke wujud manusia. Ringkasnya begitu.

Baca Juga  Spider-Man: Far from Home

Kisah Ultraman yang tipikal plotnya didominasi aksi perlawanan sang jagon melawan para Kaiju, kini mengambil jalan yang tak lazim. Secara brilian, naskah Rising menggunakan ikon legendaris ini untuk mengangkat tema keluarga, atau khususnya parenting. Sosok Kenji yang egois dan menjauh dengan ayahnya menjadi kunci kisahnya, di mana kini ia harus merawat sang bayi Kaiju. Pesannya tentu tak sulit dimaknai. Namun, membuat naskah yang demikian menyentuh dengan latar cerita Ultraman jelas bukan perkara mudah. Chemistry antara Kenji/Ultraman dan sang bayi, bisa terjalin begitu intim dan hangat layaknya ayah dan putrinya. Teknik montage-nya sangat efektif untuk menggambarkan betapa lelahnya Kenji membagi waktu antara karir dan sang bayi selama berbulan-bulan. Ini adalah salah satu montage animasi terbaik bagi saya. Selipan komedi terbaiknya ada di momen-momen relasi antara mereka berdua, seperti ketika Kenji mengajari sang bayi bermain baseball.

Pencapaian visualnya pun terhitung sangat apik. Gaya animasinya memang mengingatkan pada Spider-Verse, walau film ini jauh lebih berwarna sementara Rising sedikit lebih “gelap”. Adegan-adegan aksinya bisa digambarkan dengan begitu memesona dan nyaman untuk dinikmati, melalui kombinasi teknik “sinematografi” dan “editing cepat”. Adegan pertarungan klimaksnya sungguh memuaskan, baik visual maupun intensitas dramatiknya.

Ultraman: Rising, bisa jadi adalah film animasi kejutan terbesar tahun ini, cerita sosok ikonik super ini secara segar mampu mengemas tema keluarga yang menghibur sekaligus menyentuh dengan visual mengagumkan. Sebuah pencapaian yang komplit. Titelnya pun memberi makna ganda, tidak semata hanya mengasuh sang bayi Kaiju, namun adalah pendewasaan sosok Kenji dan juga sang ayah. Bahkan sosok antagonis, Dr. Onda, pun mengalami trauma masalah keluarga. Sayang, sosok jurnalis dan seorang ibu, Ami Wakita, tidak dieksplorasi lebih jauh dalam plotnya. Ultraman: Rising berada di level film-film animasi terbaik yang pernah ada. Siapa bakal menyangka, Ultraman bisa menampilkan kisah begitu menyentuh dan hangat. Nominasi Oscar sudah berada di tangan dan ini adalah pencapaian terbaik Netflix Animation sejauh ini.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaHotel Pula – EoS 2024
Artikel BerikutnyaThe Bikeriders
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.