Mungkin banyak yang tak mengenal seri animasi stop motion Wallace & Gromit, feature serta short-nya, padahal seri ini telah menjadi langganan di ajang BAFTA hingga Academy Awards. Wallace & Gromit: Vengeance Most Fowl tercatat adalah feature kedua setelah Wallace & Gromit: The Curse of the Were-Rabbit (2005) yang sukses kritik dan komersial, termasuk Piala Oscar untuk kategori Film Animasi Panjang Terbaik. Film ini masih digarap oleh sang kreator, Nick Park yang kali ini didampingi Merlin Crossingham. Mampukah film yang kini dirilis Netflix ini menyamai sukses film sebelumnya?

Wallace (Ben Whitehead) masih saja berujicoba dengan alat-alat temuannya untuk membantu kesehariannya, ditemani anjing setia yang juga sobatnya, Gromit. Wallace akhirnya menciptakan mahakaryanya, yakni sebuah robot cerdas bernama Norbot (Reece Shearsmith). Norbot pun menjadi primadona warga, bisa melakukan pekerjaan apa saja layaknya manusia, dan membuat peran Gromit semakin tersingkir. Di saat bersamaan, musuh besar Wallace yang ia jebloskan ke penjara, si penguin Feathers McGraw bertekad membalaskan dendam. Dengan otak cerdasnya, sang penguin mampu meng-hack komputer Wallace dari penjara hingga Norbot pun diubah menjadi sosok jahat.

Bagi yang telah akrab dengan seri Wallace & Gromit, feature keduanya ini masih menyajikan gaya khas animasi stop motion dengan kisah yang ringan. Rutinitas pagi dengan segala pernik temuan Wallace mengisi segmen pembuka, tak berbeda dengan feature sebelumnya. Dalam dunia cerita ini, karakter manusia dikisahkan sebagai sosok konyol dan bodoh, tidak seperti karakter hewan, cerdas dan lebih manusiawi, yang diwakili karakter Gromit dan Feathers McGraw. Ini senada dengan seri spin-off-nya Shaun the Sheep yang juga merupakan kreasi Nick Park.

Baca Juga  Infinite

Kisah Vengeance Most Fowl sesungguhnya merupakan sekuel dari film pendeknya, The Wrong Troussers (1993) yang meraih Piala Oscar pada masa rilisnya. Kalian bisa menontonnya melalui link di bawah artikel ini. Plotnya senada dan merupakan versi panjang dari film pendeknya, di mana sang penguin mengambil-alih kontrol penemuan Wallace dan memanfaatkannya untuk mencuri berlian biru. Semua di akhiri dengan segmen aksi klimaks yang menghebohkan. Tentunya secara visual pencapaian visualnya jauh berbeda, namun beberapa elemen, seperti score tetap sama.

Seperti halnya film-film sebelumnya, Gromit menjadi sosok yang mencuri perhatian penonton melalui aksi-aksi cerdasnya. Gromit adalah sosok yang pertama kali mampu mencium ketidakberesan situasi sekaligus melakukan investigasi dengan cara dan gayanya sendiri. Aksi tanpa pamrih Gromit adalah kunci kekuatan film ini sesungguhnya, tanpa mengecilkan polah Wallace atau sang komandan polisi. Ringkasnya, Gromit adalah “man of the match”.

Wallace & Gromit: Vengeance Most Fowl masih memberikan sajian hiburan cerdas dengan visualisasi menawan, walau kini tak lagi menggigit seperti sebelumnya. Menonton The Wrong Troussers, sepertinya akan lebih memudahkan untuk masuk dalam kisahnya. Gaya animasi stop motion seri ini yang memikat dan kisah renyah membuat film ini mampu menghibur semua kalangan. Seri Wallace & Gromit adalah satu contoh bagus bagaimana film animasi mampu menghibur sekaligus memberikan tontonan cerdas melalui tema persahabatan. Buat yang tekesan dengan film ini, simak saja feature pertamanya yang jauh lebih memberikan kesan membekas.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaMy Favourite Cake
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.