Three Days to Eternity (2007)
104 min|Comedy, Drama|N/A
7.1Rating: 7.1 / 10 from 445 usersMetascore: N/A
Ambar and her cousin Yusuf get drunk, miss a flight, and decide to drive to the family wedding they are in danger of missing. They encounter bizarre people along the way while avoiding the sexual tension growing between them.

Setelah sukses dengan film drama biografi, Gie, sineas Riri Reza, melanjutkan dengan film bertema perjalanan, 3 Hari Untuk Selamanya. Sineas kembali mengkasting aktor favoritnya, Nicholas Saputra dengan pasangan main aktris Adinia Wirasti. Sekalipun dibintangi aktor-aktris muda yang populer di kalangan remaja namun film ini tidak diperuntukkan penonton remaja.

Suatu ketika Yusuf (Nicholas Saputra) mendapat amanat dari tantenya untuk mengantarkan satu set piring antik ke Jogja dengan menggunakan jalan darat. Perlengkapan tersebut merupakan bagian dari ritual tradisi keluarga menjelang pernikahan putri pertama sang tante. Sementara putri keduanya, Ambar (Adinia Wirasti) akhirnya turut pula menemani Yusuf. Yusuf adalah tipikal pemuda baik-baik, sopan, bertutur kata halus, serta intelek. Sementara Ambar sebaliknya, adalah tipikal gadis ibukota yang akrab dengan pergaulan bebas, suka hura-hura, spontan, serta manja. Selama perjalanan tiga hari menuju Jogja mereka mengalami beragam peristiwa yang membuat mereka mampu merenungi serta merefleksi kehidupan yang telah mereka jalani.

Plot tentang perjalanan memang bukan hal yang baru namun bisa jadi film ini merupakan sebuah terobosan bagi dunia perfilman kita. Film-film berkualitas seperti, Little Miss Sunshine, Motorcycle Diaries, hingga Into The Wild juga memiliki tema serupa. Para tokohnya yang memiliki konflik batin dihadapkan pada berbagai peristiwa yang akhirnya mampu menyadarkan jiwa mereka. 3 Hari untuk Selamanya mencoba untuk berbuat sama. Yusuf yang relatif “alim” sepanjang perjalanan senantiasa tergoda oleh sisi gelap Ambar yang membangkitkan gairah manusiawinya. Sineas cukup efektif memvisualisasikannya tanpa menggunakan dialog semata, seperti penari erotis di pinggir pantai, hingga tulisan “malas bercinta” di belakang sebuah truk. Di pihak lain, Ambar lambat laun terusik dengan cara berpikir Yusuf yang kuno namun akhirnya sadar jika selama ini ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Menutup perjalanan, mereka singgah di Sendang Sono yang dikenal sebagai tempat suci untuk berdoa serta menebus dosa.

Baca Juga  Persahabatan Bagai Kepompong

Ide cerita yang ditawarkan sebenarnya menarik namun kurangnya kedalaman cerita membuat eksekusi akhir menjadi lemah. Setelah semua itu, apakah Yusuf akhirnya tergoda (berubah)? Sepertinya tidak. Konflik memanas setelah mereka singgah di Tegal hanya karena perkara “sepele” dan sikap keras Ambar meluluh setelah ia melihat kecelakaan lalin di perjalanan. Kita melihat kematian setiap hari. Kematian adalah hal biasa. Mengapa karakternya tidak dilibatkan sekalian dalam pengalaman “kematian” tersebut dan menjadikannya milik mereka. Ambar jelas berubah setelah perjalanan tersebut, tampak dari keputusannya untuk melanjutkan studi ke luar. Yusuf dan Ambar juga digambarkan saling menyukai satu sama lain namun hingga akhir cerita hubungan mereka masih mengambang.

Entah mungkin ada sesuatu yang hilang, menurut beberapa sumber film versi aslinya banyak terkena sensor. Tidak jelas apakah Yusuf dan Ambar akhirnya bercinta? Lalu juga gempa bumi di Jogja pada akhir filmnya tidak memiliki motif yang jelas, atau hanya tempelan, bentuk simpati, entahlah. Lalu sasaran untuk penonton dewasa? Rasanya film ini (versi bioskop) masih jauh lebih sopan ketimbang film-film remaja kita lainnya. Lalu untuk apa disensor jika memang diperuntukkan bagi penonton usia 18 tahun ke atas. Seperti halnya Gie, secara teknis film ini telah memadai walau banyak memiliki kelemahan dari sisi cerita. Secara umum film ini juga menunjukkan jika sineas memiliki talenta untuk membuat karya-karya yang lebih baik.

Artikel SebelumnyaQuickie Express, Sebuah Komedi Tanggung
Artikel BerikutnyaWawancara Produser dan Sineas Fiksi
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.