after life

KlikFilm dan Falcon sekitar tiga pekan lalu (18 Agustus) bukan hanya merilis orisinalnya dengan judul Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti. Ada pula After Life yang juga menyoal seputar memaafkan masa lalu dan menghormati orang tua arahan Suroso M.Y.S. Pertemuan kali kedua Suroso pula dengan penulisnya kini, yakni Puguh P.S. Admadja, sejak kerja sama mereka tahun lalu lewat Cek Ombak (Melulu). Cerita drama komedi tentang kematian ini diperankan antara lain oleh Hanggini, Shareefa Daanish, Mega Dwi Cahyani, dan Ibnu Wardani. Hasil kerja Suroso dan Puguh pernah mengecewakan sebelumnya. Lantas, adakah perbedaannya kali ini?

Reney (Hanggini) dan Toni (Ibnu) sedang dalam perjalanan menuju lokasi foto prewedding bersama sahabat Reney, Candani (Mega), sebagai fotografer mereka. Hubungan Reney dan Toni tidaklah harmonis, karena Reney kerap kali egois. Sepanjang jalan bahkan mereka bertiga selalu bertengkar meributkan sikap Reney. Nahas, mobil yang mereka naiki kemudian mengalami kecelakaan tunggal. Namun, dalam dimensi antara menjelang Reney akan dimasukkan ke neraka, ia mengajukan perjanjian ke malaikat, Sifer (Shareefa), untuk melakukan sesuatu terlebih dulu kepada orang-orang yang ditinggalkannya di Bumi.

After Life betul-betul “totalitas” dalam memberikan tontonan dengan olahan filmis yang receh. Bukan lagi ala kadarnya atau medioker semata. Terlepas dari apa pun pesan moral dan suapan-suapan nasihat di dalamnya. Malahan, berbagai pesan moral tersebut kehilangan nilai urgensinya karena disampaikan dalam kemasan yang terlalu disimplifikasi. Penyederhaan dari beragam aspek kreatif yang akhirnya berakibat fatal terhadap kualitas seluruh tayangan. Pertanyaan pertama yang kemudian tebersit adalah, sebenarnya berapa bujet After Life sampai menghasilkan film yang sedemikian buruk ini?

After Life hanya mendapat “sedikit” bantuan dari kehadiran Shareefa, serta Hanggini yang –minimal—cukup bisa ditonton. Lagipula ia telah beberapa kali berolah peran. Walau penulis skenario After Life menciptakan sosok Reney dengan penokohan yang amat buruk. Bahkan karakternya saat sedang berada di dunia antara atau tengah menjalani masa-masa penundaan dibuat kelewat bodoh. Sama sekali tidak ada kreativitas untuk menjadikan hari-hari Reney selama masa-masa tersebut berjalan dengan lebih elegan. Eksekusi saat Reney terpaksa harus merasuki badan orang lain juga kurang berkelas dengan hanya mengubah suara dan sikap. Signifikansi perbedaannya lemah. Padahal ada dua aspek potensial yang dapat dimanfaatkan.

Baca Juga  Insya Allah Sah

Bicara soal visualisasi dimensi antara maupun interaksi arwah gentayangan dengan manusia, After Life masihlah kalah jauh sekali dari Ghost Writer (2019) dan Akhirat: A Love Story (2021). Bahkan tidak memenuhi standar kelayakan untuk dibandingkan dengan dua film tersebut. Meski Akhirat: A Love Story pun melakukan penyederhaan potensi terhadap tampilan dimensi antaranya.

Jika meninjau kembali rekam jejak Suroso dan Puguh, maka bakal muncul satu judul film dengan kualitas yang tak jauh beda, yakni Cek Ombak (Melulu). Pemeran tokoh utamanya pun Hanggini. Aktris muda yang jarang berkesempatan menunjukkan kebolehannya dalam berakting, karena setiap skenario yang selama ini ia mainkan kerap kali berada pada level medioker atau malah lebih buruk. Setidaknya Kembang Api (2023) dan Para Betina Pengikut Iblis (2023) mampu menyediakan ruang olah peran baginya untuk tampil dengan performa lebih baik. Ketimbang Geez & Ann (2021) pula Pesan di Balik Awan (2021).

After Life, lagi-lagi dan untuk kesekian kali, menunjukkan kegagalan berkreasi dalam produksi secara keseluruhan dari awal hingga usai. KlikFilm masih saja menghasilkan film yang mengecewakan, setelah Cek Ombak (Melulu), Hompimpa (2021), I dan Will (2021), serta Pesan di Balik Awan (2021). Dua di antaranya juga melibatkan Hanggini sebagai pemeran utama. Selisih rentang waktu satu tahun pun ternyata tidak memberi pembelajaran apa pun, baik terhadap Suroso maupun Puguh.

PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaMappacci – Malam Pacar
Artikel BerikutnyaPast Lives
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.