Film-film kedaerahan dari Makassar telah beberapa kali menambah variasi di antara perfilman nasional. Tujuh tahun setelah drama percintaan berunsur tradisi Bugis macam Uang Panai’ Maha(r)l (2016), kini ada Mappacci – Malam Pacar. Film arahan Andi Burhamzah dengan skenario garapan Oka Aurora ini juga mengangkat tradisi yang lainnya dari Suku Bugis, tetapi masih seputar pernikahan. Melalui produksi Timur Pictures, para pemerannya yaitu Andi Nurfasca Batari Bintang, Cahya Arynagara, Cipta Perdana, dan Farissa Effendi. Sebagaimana Uang Panai’, ada banyak nama baru pula dalam pengerjaan Mappacci dari segala lini. Lantas, seperti apa hasilnya kemudian dengan nama-nama baru tersebut?
Tenri Nabila (Nurfasca) sangat ingin menjadi seorang penulis novel. Namun, impiannya tersebut sukar sekali terwujud, karena naskahnya berkali-kali ditolak editor. Sampai suatu hari secara kebetulan bertemu dengan Iwan (Arynagara) dalam elevator dengan situasi canggung yang agak memalukan bagi Tenri. Pertemuan tersebut lantas mendekatkan hubungan di antara mereka. Cukup dekat sampai Iwan bertekad serius dengan Tenri dan menikahinya, sesegera mungkin sebelum keberangkatannya bertugas sebagai dokter pengganti di Papua. Di tengah hari-hari percintaan tersebut, sepupu Tenri, Awuru (Farissa), malah mengenalkan Tenri dengan seorang pengusaha bernama Erwin (Cipta). Salah satu penyebab kebimbangan Tenri kemudian.
Lokalitas kebudayaan dalam film-film daerah tentu merupakan nilai lebih daripada film-film Jakarta sentris. Selalu ada aspek kultural dalam penceritaannya, meski sebetulnya memiliki plot sederhana. Mappacci juga demikian. Plotnya simpel. Bahkan tak berbeda dari drama percintaan di Indonesia selama ini. Seorang perempuan yang bertemu (secara tidak sengaja) dengan seorang laki-laki, lalu keduanya semakin dekat hingga berpacaran. Namun, saat sudah berada dalam masa-masa serius, lelaki tersebut menghilang. Ketika sang perempuan sedang berupaya move on dan mencoba menerima sosok laki-laki baru, tiba-tiba mantannya datang. Simplifikasi yang menjadikan penceritaan Mappacci sangat mudah diantisipasi oleh penonton. Walau tanpa spoiler sekalipun.
Hanya saja, unsur tradisi berupa serangkaian panjang acara dalam masa-masa lamaran dan pernikahan merupakan satu-satunya alat paling kuat Mappacci. Tak segan menyertakan pula berbagai istilah setempat untuk menyebut acara-acara tersebut, termasuk “mappacci” itu sendiri. Salah satu film terdekat dengan kesamaan spirit tentang adat seputar pernikahan di Makassar adalah Uang Panai’. Meski problematika dan konflik-konflik sepanjang film berjalan yang disebabkan oleh salah satu tradisi, masih lebih terasa kental dalam Uang Panai’ daripada Mappacci. Unsur-unsur tradisi dalam Mappacci justru sekadar muncul sebagai upacara-upacara atau rangkaian acara.
Beberapa eksekusi teknis pun berujung meleset dan mengganggu kenyamanan menonton. Katakanlah, durasi adegan Tenri saat baru menyadari telah memanfaatkan sapu tangan orang lain untuk ingusnya dalam elevator. Pun dengan montase hari-hari kencan berdua Tenri dan Iwan maupun saat dengan Erwin yang terlalu banyak. Ada pula transisi saling silang (cross cut) antardua peristiwa terpisah yang masih kasar. Juga lompatan kejadian dari adegan perbincangan ringan Tenri dan Awaru dalam kamar yang tiba-tiba saja beralih ke kamar rumah sakit. Hanya untuk menyediakan kesempatan mempertemukan kembali Tenri dengan Iwan.
Soal olah peran, para pemain dalam Mappacci tentu sudah semaksimal mungkin membawakan karakter masing-masing. Walau masih perlu rekam jejak yang lebih panjang lagi untuk melatih diri mereka dalam berakting, karena beberapa kali masih tampil kurang natural. Tampak bahwa mereka sedang berakting, alih-alih memang menjalani keseharian nyata (dalam film). Penjiwaan mereka terhadap karakter masing-masing belumlah secara stabil mendalam di sepanjang film berjalan. Misalnya, telat merespons lawan bicara. Juga pelafalan dialog yang masih scripted atau menghapal mentah-mentah sebagaimana yang tertulis dalam skenario.
Mappacci mendapatkan kekuatan daya tawarnya semata dari keberadaan unsur-unsur tradisi khas Bugis di Makassar, tetapi eksekusi teknis untuk penceritaannya biasa-biasa saja. Terlepas dari sisipan-sisipan lawakan yang tersaji dengan hambar. Boleh jadi menurut masyarakat sana sudah lucu. Ihwal percintaan dalam Mappacci pun terkadang memunculkan kemiripan dengan Uang Panai’, yakni kehadiran orang ketiga. Coba saja mencabut semua rangkaian acara tradisi Bugis-nya, dan Mappacci hanya akan berakhir persis film-film drama percintaan alakadarnya dari ibu kota. Mudah tertebak.