Pengalihan wahana dari novel laris ke layar lebar sudah menjadi kebiasaan (seperti mandi) dalam perfilman. Termasuk Argantara yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Falistiyana dengan skenario garapan Riheam Junianti. Lewat arahan Guntur Soeharjanto, roman remaja populer produksi Hitmaker Studios ini diperankan oleh Natasha Wilona, Aliando Syarief, Rendy Khrisna, Putri Patricia, Teuku Rasya, Jeremy Thomas, dan Endhita. Jangan menduga-duga dulu seperti apa roman remaja adaptasi novel laris kali ini, namun mari kita bahas.
Syera (Wilona) adalah siswi yang rajin sekaligus mantan wakil ketua OSIS di SMA Merpati yang kerap kali harus mengawasi hukuman Arga (Syarief). Siswa bandel dengan kecenderungannya selalu membuat masalah. Kejengkelan Syera atas segala masalah Arga yang sering merepotkannya juga lantas bertemu kabar mengejutkan lewat keputusan sepihak ayahnya (Khrisna). Hanya karena punya utang nyawa, Syera lah yang mesti membayarnya lewat pernikahan dengan Arga. Pasangan di bawah umur yang sama-sama tahu, pun orang tua masing-masing, mengenai aturan dari sekolah soal itu. Permusuhan Arga dan kelompoknya dengan geng motor lain juga membawa banyak pertengkaran ke hubungan mereka semua.
Naskah adalah masalah pun kekonyolan terbesar dalam Argantara. Terutama perkara logika. Menonton Argantara rasanya seperti dipermainkan dengan sajian kausalitas dalam ceritanya. Khususnya setiap tindakan para tokohnya yang bermasalah. Agaknya, Guntur yang akhirnya menggawangi duet Hitmaker dan Junianti tidak memberi dampak signifikan pula terhadap keseluruhan film. Duet yang telah terjalin bertahun-tahun. Hitmaker pun jelas sekali sekadar melihat peluang mengadaptasi novel Argantara hanya karena melihat kelarisannya belaka. Tanpa peduli ihwal tema, topik, ide cerita, dan kemungkinan pengembangannya saat memasuki proses alih wahana.
Pengerjaan serampangan soal alih wahana tersebut kian merembet ke penciptaan dimensi karakter untuk para tokoh. Ketika tindakan mereka nyaris selalu bertolak belakang dengan perkataan maupun prinsip-prinsip hidup yang dikampanyekan. Benar! Inkonsistensi dalam dimensi karakter mereka. Sekali waktu, misalnya, Syera membanggakan prinsipnya, tetapi tak berselang lama luluh juga hanya karena “didorong” Arga. Kekeh dengan batasan-batasan yang tidak boleh dilewati meski dia dan Arga sudah menikah, tetapi bisa-bisanya berselancar di internet hanya demi mencari, “apa cara terbaik yang bisa dilakukan istri agar malam pertama lebih berkesan.” Buat apa!? Itu baru satu contoh, fatalnya kekonyolan dalam Argantara.
Ihwal logika pun sama sekali tak lebih baik. Alasan untuk menikahkan Syera dengan Arga juga terasa jelas dipaksakan hanya supaya pernikahan di bawah umur mereka menjadi masuk akal. Meski salah satu pihak setuju dengan ”terpaksa”. Terlepas dari bagaimanapun cerita dari sumbernya. Ditambah lagi setelah akhirnya mereka resmi menjadi suami-istri dan tinggal berdua, orang tua masing-masing langsung menghilang dari layar serta kehidupan mereka. Seakan-akan lepas tangan dengan mengatasnamakan “mandiri”. Ini baru sekelumit contoh kecil persoalan logika dalam Argantara. Selain logika pun masih ada perkara dialog yang kerap kali problematik dalam film-film kita.
Namun kendati dengan sekian banyak catatan merah pada skenario, Argantara mencoba sebisa mungkin menaikkan kualitasnya lewat dua cara, variasi pergerakan kamera dan adegan laga. Tampaknya Guntur dan Enggar sama-sama sadar akan visual yang –minimal—harus bisa dinikmati, ketika cerita tidak bisa diapa-apakan lagi. Mereka menyadari Argantara adalah film yang akan kerap menampilkan adegan berkendara dengan motor di jalanan kota dan perseteruan dua geng motor. Jadi butuh cara-cara pengambilan gambar dengan pergerakan kamera yang bisa mencuri perhatian penonton, serta eksekusi adegan-adegan aksi yang seru. Walau tidak mungkin disandingkan dengan film-film laga lain yang lebih mapan. Namun setidaknya cukup membantu “kebosanan”.
Jikapun kita mau dengan sukarela membandingkan Argantara sambil membaca jejak film-film arahan Guntur, akan ada temuan mengenai pencapaiannya selama ini. Guntur belum pernah sukses menelurkan karya yang memuaskan, fenomenal, maupun mumpuni dari segala sisi. Padahal karirnya telah dimulai sejak 2008. Seolah perjalanan penyutradaraannya tidak berkembang ke mana-mana. Begitu pula Junianti dengan hasil garapan yang sama saja. Lagipula film-film horor yang selama ini ditulisnya di bawah naungan Hitmaker bukanlah karya-karya yang ciamik.
Argantara seperti yang sudah diduga, menambah daftar panjang roman remaja populer picisan yang mengadaptasi cerita dari novel hanya karena laris semata. Bagus sejak dari karya sumbernya? Belum tentu. Selalu ada film-film semacam ini di antara genre populer dalam perfilman lokal. Film-film yang bahkan sudah bermasalah dari aspek naratif atau pengerjaan skenarionya. Dari roman remaja saja, ada Nagih Janji Cinta, Cek Ombak (Melulu), dan Pesan di Balik Awan pun demikian. Sebagai pengisi slot tayangan dari film-film lokal, Argantara dan yang sejenisnya memang punya kesempatan. Namun untuk merekomendasikannya? Silakan rasakan pengalamannya sendiri.