Perempuan Punya Cerita merupakan sebuah film yang terdiri dari empat segmen pendek yang diarahkan oleh empat sineas yang berbeda. Dua naskah pertama ditulis oleh Vivian Idris, dan dua lainnya ditulis oleh Melissa Karim. Keempat cerita tersebut tidak saling berhubungan satu sama lain namun seluruhnya mengangkat tema yang sama, yakni ketidakberdayaan para perempuan dalam menghadapi empat situasi yang berbeda.
Segmen pertama berjudul Cerita Pulau karya Fatimah T. Rony. Cerita berkisah tentang Sumantri (Rieke Dyah Pitaloka), seorang bidan yang berpraktek di sebuah pulau kecil yang memiliki reputasi buruk karena pernah melakukan aborsi. Sumantri yang juga menderita kanker berat terpaksa kembali melakukan aborsi untuk menolong Wulan (Rachel Maryam), seorang gadis abnormal yang hamil setelah diperkosa pemuda lokal (?). Tak ada yang istimewa dengan kisahnya selain setting yang sangat mendukung cerita. Beberapa aspek cerita tampak janggal ketika tindak perkosaan tidak diselidiki dengan selayaknya oleh penegak hukum dan anehnya si pemerkosa masih saja berkeliaran bebas di pulau tersebut. Penyelesaian masalahnya pun terlalu singkat. Kanker, aborsi, perkosaan dalam satu kisah? It’s too much.
Segmen kedua berjudul Cerita Jogja karya Upi. Ceritanya mengangkat kehidupan remaja SMU di Jogja yang akrab dengan perilaku seks bebas. Cerita film terpusat pada Safina (Kirana Larasati), seorang siswi SMU yang tertarik dengan pemuda asal Jakarta Joy Anwar (Fauzi Badila). Safina yang telah berhubungan jauh dengan sang pemuda belakangan mengetahui jika Joy adalah seorang wartawan yang memanfaatkannya untuk meliput perilaku seks remaja di sekolahnya. Segmen kedua ini bisa dikatakan sebagai segmen yang terburuk karena alur cerita mengindahkan semua logika akal sehat yang ada. Penggambarannya pun sangat kasar dan vulgar. Mengapa sesuatu yang serius (tema film keseluruhan) dibuat main-main?
Segmen ketiga berjudul Cerita Cibinong karya Nia Dinata. Kisahnya mengangkat tema perdagangan anak. Esi (Shanty) terpaksa membawa putrinya, Maesaroh, ke rumah rekan kerjanya, Cicin (Sarah Sechan) karena suaminya berbuat tidak senonoh dengan putrinya. Dalam perkembangan, Cicin tanpa sepengetahuan Esi malah menjual Maesaroh ke seorang broker. Segmen ketiga merupakan segmen tergelap yang kisahnya didukung efektif oleh suasana dunia malam di wilayah pinggiran ibukota. Penggunaan bahasa lokal (Sunda) juga menjadi nilai lebih segmen ini. Beberapa alur plotnya masih terasa minim penjelasan, mengapa Maesaroh mau diajak pergi oleh Cicin, kedekatan hubungan Esi dan putrinya menjadi kunci namun tidak diperlihatkan dengan jelas.
Segmen keempat berjudul Cerita Jakarta karya Lasya F. Susatyo. Laksmi (Susan Bachtiar) merupakan penderita HIV yang tertular dari suaminya (alm). Keluarganya memaksa Laksmi untuk menyerahkan putrinya, Belinda, karena resiko tertular ibunya. Bersama putrinya, Laksmi lari dari rumah dan mencoba hidup seadanya. Setelah beberapa peristiwa Laksmi akhirnya menyadari jika ia harus melepas putrinya. Segmen penutup ini merupakan segmen yang terbaik. Dengan tempo alur cerita yang lambat serta tata sinematografi yang menawan, sineas mampu menggambarkan kedekatan hubungan Laksmi dengan putrinya melalui momen-momen yang menyentuh, hingga kita turut merasakan betapa berat sang ibu ketika harus melepas putrinya. Semua kisahnya berakhir mengambang, menggambarkan pengorbanan serta ketidakberdayaan wanita menghadapi rentetan nasib serta lingkungan yang makin tidak manusiawi. Mengapa wanita selalu digambarkan seperti ini, bukankah mereka juga manusia yang memiliki pilihan?
Bagus Pramutya