Alangkah Lucunya (Negeri Ini) (2010)
104 min|Comedy|15 Apr 2010
7.6Rating: 7.6 / 10 from 281 usersMetascore: N/A
Three freshly graduated adults try to educate young beggars to become street vendors, but are opposed by their fathers.

Alangkah Lucunya (Negeri ini) adalah film drama yang digarap oleh sineas kawakan kita, Dedi Mizwar yang juga turut bermain dalam filmnya. Film ini juga diperankan oleh Reza Rahardian, Tio Pakusadewo, serta beberapa aktor senior seperti Slamet Rahardjo dan Jaja Miharja. Selain aktor senior beberapa aktor cilik pun juga ikut meramaikan filmnya.

Muluk (Rahardian) adalah seorang sarjana ekonomi yang dikisahkan tengah kesulitan mencari pekerjaan. Suatu ketika ia bertemu dengan seorang pencopet cilik dan ia lalu terinspirasi untuk memberdayakan para pencopet cilik tersebut dengan ilmu yang ia miliki. Harapannya kelak agar para pencopet tersebut berhenti mencopet dan beralih profesi menjadi pedagang asongan bermodalkan uang hasil mencopet. Mayoritas pencopet adalah anak-anak yang tidak pernah sekolah dan mereka dikelola oleh seorang preman bernama Jarot (Pakusadewo). Setelah mendapat ijin Jarot, Muluk mulai melaksanakan niatnya dan bahkan mengajak rekan-rekannya. Aksi Muluk ternyata tidak diketahui oleh ayahnya (Mizwar). Sepengetahuan sang ayah, putranya bekerja di sebuah kantor bidang pemberdayaan sumber daya manusia.

Tema yang diangkat film ini adalah masalah kemiskinan serta dampaknya. Fokus cerita adalah anak-anak jalanan yang terlantar dan akhirnya terpaksa menjadi pencopet. Tema yang cukup unik dalam dunia perfilman kita. Motif cerita menjadi masalah utama ceritanya. Cerita filmnya benar-benar terlihat lucu dan tak masuk akal. Satu contoh yang paling jelas tampak terlihat pada penyelesaian masalahnya. Mengapa sejak awal Muluk tak berpikir panjang dan memperhitungkan resiko jika tindakannya ini kelak bakal diketahui sang ayah? Dan lucunya lagi, setelah ayahnya tahu dan mempermasalahkan halal dan haram, Muluk mendadak memilih untuk tidak melanjutkan aksinya setelah semua usaha keras yang ia lakukan. Bukankah menelantarkan anak-anak tersebut juga merupakan suatu tindakan tidak terpuji?

Baca Juga  Dua Hati Biru

Pencapaian teknis yang terasa sekali menggangu adalah tata suara. Pada banyak adegan dialog tidak terlihat sama sekali perspektif suara (jauh dekat). Seperti pada adegan di pasar misalnya, suara yang ada di kejauhan dan dekat suaranya terdengar sama volumenya. Ilustrasi musiknya pun juga seringkali kurang menyatu dengan adegan dalam filmnya dan seringkali terpenggal. Pencapaian yang terbilang cukup lumayan adalah akting para pemain cilik yang natural sebagai anak-anak jalanan tidak kalah dengan aktor-aktor senior. Sineas juga mampu membangun karakter para pencopet cilik dengan menarik dan memiliki keunikan masing-masing.

Sineas dalam film ini sepertinya mencoba menggambarkan betapa lucunya negeri ini namun sayangnya sineas mengabaikan aspek logika naratif sebuah film. Melalui film ini sineas mencoba mengkritik pemerintah supaya lebih peduli terhadap anak-anak jalanan yang terlantar, tidak bisa sekolah dan terpaksa mencopet. Namun film ini rasanya tidak memberi solusi yang tepat. Sineas juga menyinggung keras para koruptor di negeri ini. Mencuri sekecil apapun bentuknya tetap saja mencuri (haram).

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaHachiko, Versi Amerika vs Versi Jepang
Artikel BerikutnyaMenebus Impian, Mencari Makna Kebahagian
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.