2/
Rano Karno, saat masih bintang cilik, memerankan Doel dalam Si Doel Anak Betawi (1973) karya Sjuman Djaya, seorang sutradara asli Betawi. Filmnya bercerita tentang suka-duka kehidupan Doel, seorang anak Betawi yang harus banting tulang membantu ibunya dengan berjualan kue. Doel anak yatim. Ayahnya (diperankan Benyamin) tewas dalam sebuah kecelakaan. Penderitaan Doel seakan tak surut. Ia diganggu anak-anak sebayanya dari kelas gedongan.
Film tersebut hendak melawan stigma negatif yang melekat pada masyarakat Betawi. Terutama lewat lagu temanya yang menolak orang Betawi disebut “ketinggalan zaman” maupun “tak berbudaya”. Di filmnya juga, Doel sebagai representasi orang Betawi melakukan perlawanan kelas: si miskin mampu menaklukkan si kaya.
Kita juga melihat di film itu, Doel dibiayai sekolahnya oleh sang paman, Asmad (diperankan Sjuman) yang kemudian menggantikan s0sok ayahnya. Asmad ingin Doel tetap bersekolah karena ingin memutus lingkaran jelek kehidupan anak Betawi. Di akhir film, Doel menjadi anak yang akan jadi modern.
Lagi-lagi, suasana kebatinan masa itu—Betawi yang tersisih—memunculkan narasi orang Betawi menolak disebut ketinggalan zaman, terbelakang, miskin, belum modern dll. Dalam sebuah perjuangan kelas, orang betawi mampu keluar sebagai pemenang. Orang Betawi bisa pula jadi orang modern.
Cerita Doel ini di dekade yang sama melompat ke masa saat sang tokoh jadi orang sukses. Sjuman Djaya lalu mengangkat cerita Si Doel Anak Modern (1976). Doel (kali ini diperankan Benyamin S.) melompat dari Betawi kampung jadi “modern”. Rumah keluarga Doel bukan di Jakarta, tapi di Cibinong. Kepindahan orang Betawi Ada Samiun, pria beristri dan tukang delman langganan Dasima yang menaruh hati pada si nyai, yang berkat tipu orang kampung. Ia mengubah6 penampilan berpakaian ala anak kota, lengkap dengan rambut kribo dan motor buatan Jepang model teranyar. Namun, kala tertimpa berbagai kesialan, Doel mengaku kapok jadi modern.
Ditulis JB Kristanto di buku Katalog Film Indonesia, tujuan Sjuman memang berniat mengejek sikap modern yang dilukiskannya dengan negatif: rebutan istri, memperistri gadis kawan anaknya dan lain sebagainya. Bahkan judul “Si Doel Anak Modern” juga dicoret dan diganti “Si Doel Sok Modern”.[5]
Walau pesan filmnya mengolok-olok gaya hidup modern yang kebablasan, menarik yang diangkat Sjuman sebagai corong pernyataannya adalah orang Betawi. Maka, bila dicermati, film itu bermasalah sejak dalam pikiran: orang Betawi dan modernitas tak bisa disatukan dalam satu kalimat. Ketika ada orang Betawi jadi modern, hal itu dianggap sebuah anomali sampai-sampai perlu diangkat jadi sebuah film. Bahkan, filmnya bisa disalah-kaprahi orang Betawi tak cocok jadi orang modern. Mungkin untuk mendapat efek komedi, Doel digambarkan kelewat bodoh dan konyol. Ini memunculkan pertanyaan seperti di akhir resensi Salim Said atas film tersebut, “Begitu konyolkah anak Betawi dalam kota Jakarta yang modern ini?”[6]
Di kebanyakan film-film berlatar Betawi tahun 1970-an, orang Betawi disibukkan dengan persoalan identitas, melawan stigma negatif, maupun berupaya eksis di tengah modernitas. Karena sibuk mengurusi upaya untuk dianggap dan tak disisihkan, persoalan orang Betawi dalam budaya pop kita hanya berkutat di sekitar itu saja. Persoalan orang Betawi sebagaimana lazimnya manusia dengan segudang persoalan lain di luar ingin eksis, nyaris tak disentuh.
Disebut nyaris karena upaya untuk keluar dari persoalan yang itu-itu saja bukannya tak pernah dicoba. Yang mencoba mendobraknya adalah Benyamin S. sendiri, sang ikon Betawi. Lewat bendera perusahaan film yang ia dirikan sendiri, PT Benyamin Betawi Film Corporation, Benyamin memproduksi film Bapak Kawin Lagi (1973). Filmnya berkisah tentang cerita sebuah rumah tangga. Benyamin jadi Herman, tukang catut mobil yang mendadak kaya usai menjual mobil antiknya. Herman punya istri, Fatimah (Rima Melati). Namun, setelah jadi kaya, ia diam-diam menikahi janda muda.
Di sini, Benyamin mengajak penonton berdialog dengan stereotip pria Betawi (yang sebenarnya juga lazim terjadi pada suku mana saja): bila sudah kaya, kawin lagi. Tentu saja, kemudian si pria kena batunya. Anak si janda muda ternyata satu sekolah dengan anak Herman. Fatimah sendiri berkenalan dengan istri simpanan suaminya. Maka rahasia Herman terbongkar.
Pada 1973 itu, Benyamin, sebagai orang Betawi sebenarnya sudah selesai dengan persoalan identitas kebetawian dan eksistensi diri. Ia bukan lagi Ben yang baru mencuat dua tahun sebelumnya. Ia sudah punya uang banyak untuk memproduksi film sendiri. Dan film produksi pertamanya bukan lagi sarana untuk “minta dianggap” maupun menolak stigma kampungan dll.