3/

Masalahnya, bagi banyak orang lain, Betawi tetaplah sudah terpinggirkan dan perlu dimodernkan. Melewati dekade 1980-an ke pertengahan 1990-an persoalan identitas ini tak kunjung selesai. Contoh paling jelas bisa dilihat di sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang pertama tayang di RCTI tahun 1993.

Hingga kini, sinetron itu dianggap salah satu puncak pencapaian serial TV yang tak pernah terulang lagi, disukai dari segi komersial dan kualitas. Ia juga dipuja-puji karena mengangkat kembali budaya Betawi. Rupanya, sebelum pertengahan 1990-an, budaya Betawi termarginalkan lagi. Berkat sinetron Si Doel Anak Sekolahan orang  menaruh perhatian pada yang serba Betawi lagi. Di layar kaca, selain Si Doel, pada 1990-an populer juga tontonan Lenong Bocah. [O iya, perbincangan tentang orang Betawi ini terpaksa melebar ke TV karena pada 1990-an perfilman kita mengalami masa yang disebut “mati suri”—tanda petik karena sebutan itu bermasalah.]

Tabloid Nova yang menulis reportase di balik layar sinetron itu mengawali tulisan dengan pernyataan Rano Karno, pemeran Doel sekaligus produser: “Masyarakat Betawi bisa saja tergusur. Tapi cerita Si Doel tak akan pernah mati,” tandas Rano Karno.[7] Hm, terasa dejavu dengan artikel laporan utama Tempo tahun 1971, ‘kan? Tahun 1971 Betawi tinggal sisa, di tahun 1993 sudah tergusur.

Maka, lagi-lagi persoalan yang diangkat produk budaya pop Betawi kembali berkutat pada identitas dan eksistensi kebetawian. Orang Betawi juga bisa jadi anak sekolahan. Dalam kasus Doel jadi “tukang insinyur”. Cerita sinetronnya malah seperti mengamini stigma negatif Betawi. Di awal cerita sinetron, Sarah (Cornelia Agatha), mahasiswi antropologi yang hendak menyusun skripsi tertarik mendapati ada orang Betawi yang intelek. Ia yang semula hendak meneliti suku Asmat di Papua membelokkan topik jadi meneliti orang Betawi.

Lagi-lagi sejak dalam pikiran sudah bermasalah: intelek dan Betawi dalam satu kalimat adalah sebuah anomali. Belum lagi bila kita melihat sosok Mandra di sinetron itu yang tujuannya jadi pengundang tawa. Sebagai orang Betawi kampung ia gagap melihat berbagai sarana dan prasarana kehidupan modern. Contohnya saat ia terheran-heran melihat pagar bisa buka-tutup sendiri.

Seperempat abad kemudian sejak sinetron Si Doel pertama tayang persoalan orang Betawi masih belum beranjak juga. Tahun 2018, Falcon Pictures, sebuah rumah produksi yang sukses mengangkat ikon film jadoel (contoh: Warkop DKI) buat penonton masa kini, merilis Benyamin Biang Kerok versi anyar. Sutradaranya Hanung Bramantyo, sedang Reza Rahadian menjadi Benyamin lengkap dengan menirukan gerak-gerik sang ikon Betawi itu.

Baca Juga  Daftar Lengkap Nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2019: Hilangnya Kategori Pemeran Anak Terbaik, hingga Tahunnya Gina S. Noer

Alih-alih buat ulang (remake) film lawas Benyamin S. tahun 1972, versi anyarnya hanya meminjam judul saja. Ceritanya sama sekali lain. Yakni tentang Pengki (Reza) dkk menyabotase kasino ilegal di Jakarta untuk menyelamatkan orang Betawi pinggiran yang akan digusur. Filmnya tak taat asas. Tak jelas setting waktu zaman modern mana yang disajikan, futuristis dan serba campur aduk. Di sini pula Pengki digambarkan sebagai anak Betawi kaya yang manja dan suka menghambur-hamburkan uang.

Penggambaran macam begitu mengundang protes komunitas dan intelektual Betawi. Filmnya dinilai tidak menampilkan unsur budaya Betawi dan hanya meminjam bahkan menjual nama Benyamin Sueb.[8] Dikatakan juga, gesture Reza justru membuat Benyamin tampak seperti idiot dengan komedi slapstick yang ia bawakan.

Yang luput dari berbagai protes atas film itu, ada persoalan identitas dan eksistensi kebetawian juga di sana. Di film itu sebuah keluarga Betawi digambarkan kaya raya, hidup dengan gadget canggih. Seolah sebuah anomali ada orang Betawi hidup teramat berkecukupan.

Beberapa bulan setelah Benyamin Biang Kerok tayang, rilis Si Doel the Movie yang melanjutkan cerita sinetron tahun 1990-an. Inti ceritanya memang seputar kisah cinta segitiga Doel (Rano Karno), Sarah (Cornelia Agatha), dan Zaenab (Maudy Koesnaedi) yang belum kunjung usai. Namun, menarik bagaimana orang Betawi direpresentasikan lewat tokoh Doel dan sepupunya, Mandra di film ini dari sisi persoalan identitas dan eksistensi kebetawian.

Bertahun-tahun setelah sinetronnya tamat, Doel telah jadi manusia Betawi modern sepenuhnya, sedangkan Mandra tetaplah Betawi kampung yang gagap pada kecanggihan kehidupan modern. Memang sih, berhasil mengundang tawa, tapi di saat bersamaan terngiang lagi akhir tulisan Salim Said dahulu.

Filmnya yang menampilkan setting Belanda juga bisa dimaknai: orang Betawi juga bisa bepergian sampai ke luar negeri nun jauh ke Eropa sana, ke negeri yang dulunya menjajah tanah orang Betawi.

Masalahnya kemudian, kenapa hampir lima puluh tahun, sejak 1971, persoalan orang Betawi di film-filmnya berkutat di seputar masalah yang itu-itu saja? Kenapa orang Betawi selalu menggambarkan dirinya (digambarkan) gagap dengan modernitas, dan seakan ketika ada orang Betawi yang modern, kaya, maupun intelek dirayakan lantaran sebuah anomali? Kenapa wacana yang diangkat bukan sisi pelik melik kehidupan orang Betawi sebagai manusia yang punya berbagai persoalan lain?

1
2
3
4
Artikel SebelumnyaDora and The Lost City of Gold
Artikel BerikutnyaThe Divine Fury
Kontributor Montasefilm.com, bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Seandainya Saya Kritikus Film” (Homerian Pustaka, Yogyakarta), rilis 2009.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.