4/
Sebagai perbandingan, mari tengok bagaimana suku lain menggambarkan diri mereka dalam film. Contohnya, suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. Seiring tumbuhnya perfilman daerah lahir Uang Panai tahun 2016 yang disutradarai Asril Sani dan Salim Gani Safia. Filmnya mengisahkan tradisi uang panai alias mahar pernikahan dalam adat suku Bugis-Makassar. Sang tokoh utama, Anca (Ikram Noer) berjuang memenuhi mahar dalam jumlah fantastis demi meminang pujaan hatinya.
Atau contoh lain, tentang silariang sebutan untuk praktek kawin lari di suku Bugis-Makassar. Praktek ini dilakukan ketika cinta tak direstui, biasanya oleh salah satu pihak keluarga atau kedua-keduanya karena perbedaan kelas sosial. Dalam tradisi suku Bugis-Makassar silariang sangat tabu dilakukan. Pelakunya bisa dihukum bahkan sampai dibunuh pihak keluarga wanita yang dilarikan. Praktek silariang ini tentu sangat memenuhi unsur drama sampai-sampai orang Makassar membuat dua film bertema ini pada 2017 dan 2018 (Silariang: Menggapai Keabadian Cinta dan Silariang: Cinta yang [tak] Direstui).
Kenapa orang Bugis-Makassar tak mempersoalkan identitas atau eksistensi di zaman modern dalam produk budaya pop mereka? Jawaban singkatnya, film-film itu dibuat semula oleh dan untuk warga kalangan sendiri. Uang Panai bertahan lama di kota Makassar, Sulsel. Jauh dari pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi di Jakarta, orang Bugis-Makassar (mungkin) tak memiliki persoalan tersisih oleh roda pembangunan. Atau setidaknya eksistensi kesukuan mereka tak terancam.
Berbeda dengan orang Betawi yang secara fisik maupun mental tersisih dan terpinggirkan. Rasanya belum ada film tentang orang Betawi yang kawin lari atau orang Betawi yang harus berjuang memenuhi mahar pernikahan sesuai syarat adat/tradisi. Sebab, utamanya, buat orang Betawi wacana yang maha penting adalah pengakuan eksistensi mereka, gugatan mereka pada pembangunan dan modernitas yang justru menyisihkan mereka. Andai kampong-kampung Betawi lama tetap lestari di pusat kota yang kini jadi Jalan Sudirman atau kawasan Kuningan, mungkin tidak akan lahir film Si Doel Anak Betawi dll.
Lantas, apakah sepanjang hayat ini akan jadi persoalan abadi masyarakat Betawi? Sepanjang suasana kebatinan kita menganggap Betawi tersisih, tergusur, terpinggirkan merasa ingin eksis dan dianggap itu akan selalu ada. Jadi jangan heran bila nanti bakal lahir film Si Doel Jadi Presiden, seakan ada orang Betawi jadi presiden adalah, lagi-lagi, sebuah anomali yang patut dirayakan.***
*) Artikel ini semula makalah berjudul “Orang Betawi di Film (Catatan Penonton Non-Betawi)” untuk disajikan dalam seminar Stigma Negatif Orang Betawi Dalam Film
di TIM, Selasa, 6 Agustus 2019.
**) Ade Irwansyah, wartawan dan penulis. Bukunya antara lain Seandainya Saya Kritikus Film: Pengantar Menulis Kritik Film (2009).
[1] JB Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-2007, Penerbit Nalar, Jakarta, 2007.
[2] Cerita Njai Dasima dibukukan oleh G. Francis pada 1896. Sinopsis singkat di atas berdasar ringkasan cerita yang dimuat dalam Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, Komunitas Bambu, Jakarta, 2009, hal. 99-100.
[3] Lihat Tempo No. 14, /Tahun I, 5 Juni 197, “Benyamin: Nostalgia untuk Humor …”
[4] Ibid.
[5] Lihat JB Kristanto, Katalog Film… hal. 143.
[6] Lihat Salim Said, Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal 172.
[7] Lihat “Si Doel Beraksi Lagi! Kisah Anak Betawi yang Dijadikan Obyek Skripsi”, artikel tabloid Nova edisi September 1993 dimuat ulang Intisari Online, 3 Agustus 2018, di tautan: https://intisari.grid.id/read/03911041/si-doel-beraksi-lagi-kisah-anak-betawi-yang-dijadikan-obyek-skripsi?page=all (diakses 28 Juli 2019).
[8] Lihat antara lain “Kritik Pedas Betawi Kita dan JJ Rizal terhadap Film Benyamin Biang Kerok: Menipu!” dimuat Medcom.id, 24 Maret 2018, di tautan: https://www.medcom.id/hiburan/film/1bV4Z0LK-kritik-pedas-betawi-kita-dan-jj-rizal-terhadap-film-benyamin-biang-kerok-menipu (diakses 29 Juli 2019).