Asghar Farhadi poses backstage with the Oscar® for Best Foreign Language Film of the Year, from Iran, "A Separation", directed by Asghar Farhadi, during the live ABC Television Network broadcast of the 84th Annual Academy Awards® from the Hollywood and Highland Center, in Hollywood, CA, Sunday, February 26, 2012.

Bagi saya, sesuatu yang sangat sederhana bila menyandingkan Ashgar Farhadi dengan Abbas—bukan Abbas dengan, misal, Jafar Panahi. Panahi punya humor, yang dimanfaatkan memunculkan satir menyakitkan. Sementara Abbas nihil. Itulah sebab kenapa Farhadi lebih punya kemiripan yang kuat dengan Abbas. Mirip dalam maksud garis besar peristiwa yang diangkat dan ketiadaan humor gelap. Kedua sinema sineas tersebut penuh berbagai dilema moral, tentu dengan pendekatan yang tak sama. Abbas santai dan tak genting. Lebih dari itu, Farhadi sedikit laju, garang, dan penuh konflik internal eksternal. Kegilaan perang dialog yang masih berada pada batasan cerita membuat lajur film Farhadi nikmat dibuntuti. Tidak begitu dengan Abbas. Abbas sangat membosankan dan bikin ngantuk, namun lebih lebar meninggalkan garis makna di benak spektatornya.

Abbas Kiarostami, disebut sebagai sineas Iran paling berpengaruh pasca-revolusi. Dekade 80-an dan 90-an, Abbas sangat dihormati di berbagai komunitas dan festival film internasional. Apalagi sesudah Close Up, filmnya, dipuji habis-habisan oleh banyak kritikus. Dan Taste of Cherry yang menggasak Palme d’Or pada Cannes. Ketika Barat berpandangan negatif akan negeri Persia dan teluk Arab, Abbas datang, menampilkan wajah Iran yang penuh kejujuran dan manusiawi, kendati miris dan bergelimang kasihan—Abbas datang, membawa Iran yang tidak ekapistis. Namun menurut saya, Abbas telah cukup dengan berbagai pujian dan penandaaan masa gemilang—terlalu banyak yang membicarakannya, terlalu banyak yang menulisnya, tapi terlalu sedikit yang perhati pada siapa yang ada setelahnya.

Sinematik Abbas sarat realitas sosial, ketimpangan, dan ketakberdayaan masing-masing kelas. Dunianya adalah dunia penuh renungan, yang kemudian terlepas begitu saja pada awal 2000-an. Pada kekosongan itulah, sesungguhnya, Ashgar Farhadi telah tiba pada rentetan tangga menunju kemaksimalan sinemanya—seiring Abbas sibuk membikin film di luar negerinya sendiri.

Anehnya, siapa yang memperhatikan Farhadi saat itu? Saat jejak-jejaknya mulai membekas kuat sebagai corak kebudayaan individual sinema Persia—yang membahasakan realitas masyarakat lebih kompleks dan fluktuatif, lebih mendebar, dan lebih bagus, bagi saya. Tahun meleleh dan Abbas telah layu dari skena yang membawanya mendunia. Ia mengeksplor kekuatan yang tak pernah dijamah olehnya sebelum menjemput kematian pada 2016 yang lalu—sebut saja karya-karya seperti A Certified Copy, Like Someone in Love, dan mungkin Shirin. Namun dunia masih saja bertekuk lutut di hadapan namanya. Tak sekalipun punya niat beranjak ke sesuatu yang berbeda—ke Ashgar Farhadi, misalnya.

Abbas sebagai salah satu peristiwa sinematik Iran memanglah harus tercatat di bangku-bangku seri perkuliahan perfilman, atau berbagai diskursus seni film dunia. Namun Abbas sebagai sesuatu yang tetap, mutlak, dan permanen dari sinema Iran, justru menghancurkan ventilasi sinema Iran itu sendiri. Akhirnya, perfilman Iran mandeg pada Abbas saja—pengetahuan tentang sinema Iran tak banyak dieksplorasi lebih dalam. Orang-orang takkan menemukan siapa itu Alireza Raisian, atau yang mutakhir ini, Ali Abbasi, atau yang dewasa ini mendunia, Ashgar Farhadi. Baiknya ada yang sadar bahwa selalu ada yang baru ketika yang lama tak bertahan lagi. Bahwa ada pula yang menonjol (atau lebih) ketimbang Abbas. Tetapi untuk situasi sinema Iran, sayangnya orang-orang belum sepenuhnya berpaling.

Inilah yang barangkali, di kemudian hari, memberatkan perjalanan Farhadi. Ia tak henti-hentinya disandingkan, disamakan, dan dihampirkan dengan Abbas—yang bahkan keduanya memiliki sudut pandang berbeda dalam menyikapi realitas pada mata layar, pada mata visual. Ini memberatkan Farhadi. Ia merasa seolah tak pernah dapat kesempatan menyingkirkan diri dari bayang-bayang pendahulunya.

Ashgar Farhadi lahir di Isfahan pada tanggal 7 Mei 1972, 2 tahun setelah debut Abbas Kiarostami dalam short movie. Farhadi besar di Khomeyni Shahr, sebuah kota kecil yang terletak di pinggiran Teheran. Ia menamatkan sarjananya pada bidang seni drama dan masternya pada bidang pengarahan panggung di Universitas Teheran dan Universitas Tarbiat Modares. Seni peran memang sudah menarik Farhadi dari remaja. Saat itu ia tergabung dalam komunitas sinema yang ada di Teheran. Di sana Farhadi sempat membikin beberapa film pendek sebelum akhirnya terjun ke wilayah yang lebih luas. Inilah mungkin yang menyebabkan kenapa film-film Farhadi sangat intens dan mencengkram ketika dinikmati. Cukup jauh dari Abbas, bagi saya. Kecermatan menuliskan cerita dan sense melihat ruang adalah buah hasil pengarahan panggung semasa studinya. Pengaruh seni panggung terhadapnya telah banyak diakui oleh beberapa sineas baik dalam negaranya maupun di luar Iran.

Film debutnya, Dancing in the Dust, belum menampakkan visi artistik Farhadi dengan sempurna. Namun isu di dalamnya menjadi pemantik keberlangsungan jangka panjang bagaimana lewat kacamatanya, Farhadi memandang kepincangan individu-individu dari kultur sosial dan budaya (khususnya wilayah urban) di negaranya sendiri. Dancing in the Dust mengisahkan seorang pemuda imigran Azerbaijan yang mau tidak mau harus menceraikan istrinya akibat tekanan sekitar. Kemudian ia mesti mencari uang tambahan untuk membayar pinjaman mahar yang pernah dilakukan. Ekonomi yang sulit dan ketidakberdayaan diri membuat pemuda itu terjebak pada situasi yang rumit. Ia memilih melarikan diri dan berakhir pada sebuah padang pasir bersama seorang tua yang menolak berbicara.

Hanya berselang setahun, tepatnya 2004, Ashgar Farhadi merilis lagi film fiturnya berjudul Beautiful City. Film ini sedikit demi sedikit membuka tirai antara Farhadi dengan dunia internasional. Beautiful City menuturkan kesalahan seorang remaja yang akan menerima hukuman mati setelah umurnya genap 18 tahun. Film ini, kelak memiliki dimensi paralel dengan film terbaru Farhadi pada tahun 2021 kemarin. Sementara Fireworks Wednesday, film ketiganya adalah film yang tidak terlalu kentara jelas ingin menusuk ke arah yang mana. Namun Fireworks Wednesday mendapatkan banyak pujian kritis ketimbang komentar menohok dari para pengamat film, tersebab premis kisahnya yang memang sulit untuk dikatakan tidak menarik. Kendati demikian, bagi saya, pada film ini Farhadi membatasi diri—berkreasi atas kompleksitas mendasar, yakni emosional. Peran politis atau sosialis tidak dapat dilacak sebagaimana film-film sebelumnya. Bahkan bisa saja, ketika kita menontonnya, kuat dugaan, bahwa ini bukanlah hasil Farhadi. Lebih lanjut, terlepas dari pendekatan yang memang menjual, Fireworks Wednesday terlalu menjejal dominasi sudut pandang perempuan soal perselingkuhan, tanpa melibatkan sudut pandang pria yang semestinya ada, punya space. Hasilnya, film tersebut terkepung oleh interpretasi yang sangat subjektif.

 

Setelah serangkaian melodrama pada tiga filmnya, Farhadi mencoba mengerubungi diri dengan projek drama menegangkan yang pada kemudian hari melabuhkan namanya pada daftar catatan sekumpulan sutradara kelas dunia. Lahirlah About Elly, pada 2009—selang 3 tahun dari film subjektifnya itu. Mungkin pada About Elly inilah Farhadi merasakan kecocokan dengan 2 aktor terampilnya, Payman Maadi dan Shahab Hosseini. About Elly pada dasarnya adalah kisah pasaran—rujukan yang sederhana tentang sekelompok manusia, dalam kasus ini sekeluarga kelas menengah, yang berlibur di sebuah vila di tepi pantai Laut Kaspia. Tapi, ini ada tapinya, perempuan yang sebenarnya bukan anggota keluarga melainkan pengajar daripada anak-anak yang ditawarkan bergabung tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa ada jejak. Maka sebuah batu besar itulah yang pada babak-babak berikutnya memicu kebohongan yang melahirkan dinamika antara para tokoh, cerita semakin rumit, dan keberadaan satu sama lain semakin terpisahkan. Kisah kemudian semakin meluas ketika pada pengantar film, beberapa kebohongan ternjalin-kelindan pada kemunculan durasi-durasi setelahnya. Oleh David Bordwell, About Elly disebut sebagai sebuah mahakarya dari Farhadi. Tentu teoritis itu berpendapat sebelum kemunculan A Separation atau film-film Farhadi yang selanjutnya. Namun menyebut About Elly adalah karya gemilang memang sudah sepantasnya—film tersebut jelas berdiri sebagai sarana tontonan yang memukau banyak orang, dan betul saja demikian. Dari film itu juga Farhadi berjaya raya di Berlinale.

Baca Juga  The Quiet Girl

Mungkin terasa bahwa Berlinale terlalu kecil untuk mengukuhkan Farhadi sebagai sutradara besar, ia mencoba sebuah sesuatu yang betul-betul seimbang, adil, dan merefleksikan sebuah sinema yang potogenik. Sebagaimana pendahulunya—seperti setelah Abbas Kiarostami membikin ciut para nominasi Cannes dengan Taste of Cherry yang membosankan itu, dan Majid Majidi membuat dunia terharu dengan Children of the Heaven yang berlinang air mata—Farhadi melaju ke Oscar melalui A Separation, memporak-porandakan Oscar, membisukan para pemirsa yang duduk bersanding dengannya. Ketika itu, A Separation menjadi film Iran pertama yang mendapuk penghargaan Academy Awards untuk Film Berbahasa Asing Terbaik (kini dinamakan Best International Feature Film). Selepas itu, mungkin David Bordwell pasti menarik ucapannya pada About Elly. Sebab memang A Separation bukanlah film yang biasa-biasa saja, bahkan mahakarya pun tidak—ia lebih dari apa yang mahakarya. Film ini jelas memainkan sudut pandang ganda. Bahkan peran yang minor pada film tersebut turut menyumbang gagasan perihal kebuntuan sistemik dari satu keluarga kelas bawah. Baik atas dan bawah memiliki kapasitas cerita informatifnya masing-masing, dan itu melalui beragam sudut pandang. Ini yang membuat A Separation menjadi sinema yang tak sekadar drama, melainkan fragmen-fragmen yang lebih menunjukkan sebuah dilema moralitas dari masing-masing pondasi karakternya. Peristiwa yang masuk tanpa aba-aba, seakan tanpa melewati penyulingan terlebih dahulu terasa sangat riil dan mengundang keprihatinan atas apa yang terjadi berikutnya. Perseteruan antara 2 keluarga dan keterjepitan masing-masing mereka jelas ingin mewartakan bahwa tak ada yang benar-benar bahagia di dunia ini, dan tak ada yang benar-benar hidup sejahtera di Teheran. Yang satu mengalami keguguran dan kehilangan pekerjaan, dan yang satu mesti merawat sang ayah yang alzeimer dengan ancaman kepergian sang istri. Ditambah efek psikologis dan sosial yang harus ditanggung ke depan oleh anak-anak mereka. Motif yang kuat dan pengemasan dinamis yang tangguh inilah yang sangat berpengaruh pada keberhasilan A Separation sebagai sinema reflektif, sinema yang lebih dari mahakarya. Peringatan untuk David Bordwell.

Melihat namanya semakin memuncak selepas perhelatan Academy Awards ke-84, Farhadi mencoba peruntungannya dengan terbang ke Prancis, menggarap The Past, mengajak 3 aktor utama, di antaranya 1 aktor Iran. Narasinya tak jauh-jauh dari A Separation—tentang kehidupan keluarga yang agak rumit dan aneh. Mengisahkan kembalinya pria Iran ke Prancis untuk merampungkan perceraiannya dengan sang istri—seiring ia menyadari bahwa sang istri yang akan dicerraikannya, telah memiliki kekasih baru. The Past puas menjadi film yang cukup dan tak berlebihan. Dampak dari segala apa yang dimulai pada film ini selesai dilaksanakan. Sisanya sedikit menegangkan dan intens. Selepas The Past, Ashgar Farhadi kembali lagi ke negerinya, maka lahirlah The Salesman, film yang mengoleksi dua kemenangan Oscarnya di rumah. The Salesman menang di Academy Awards, namun Farhadi menolak hadir pada prosesi pemberian hadiah. Absennya ia pada perhelatan Academy Awards ke-89 sebagai bentuk protes atas pemboikotan imigran di Amerika Serikat. 2 tahun kemudian, Farhadi keluar lagi dari Iran, menjajaki Spanyol dengan menggandeng 3 pemeran kawakan, di antaranya Javier Bardem, Ricardo Darin, dan Penelope Cruz. Adalah Everybody Knows, film fitur pertamanya yang berbahasa spanyol. Everybody Knows merupakan film yang emosional pula, tetapi tak lebih emosional dari film yang baru-baru ni Farhadi garap, A Hero. Film A Hero bahkan, menurut saya, lebih melahirkan dilema moral yang bertaring dibandingkan A Separation, juga lebih menegangkan ketimbang About Elly. Kisah yang simpel yang diolah sedemikian rumit—dengan mengikat pertalian antara individu dan individu lainnya, segala macam sistem administrasi yang rusak, bertele-tele, pihak penjara yang narsistik, juga fundraiser yang pesimistis dan penuh kedongkolan. A Hero secara terang-terangan menunjukkan siapa yang sebenarnya jahat di negeri Iran, meskipun lewat secuil-secuil kebohongan yang datang dari kekolotan sang tokoh utama.

Tetapi konon A Hero membawa Farhadi pada masalah yang lumayan serius. Ia diduga mencomot premis cerita dari salah seorang muridnya. Kasus ini pun mulai dibawa ke meja hijau dan kemungkinan besar akan berdampak buruk bagi karir Ashgar Farhadi. Tak hanya itu, beberapa pekerjanya juga menguatkan kasus tersebut, bahwa Farhadi sering menggunakan banyak ide dari para pekerjanya tanpa meminta izin baik tertulis maupun tidak tertulis. Bahkan Farhadi diduga pernah berseteru dengan Golshifteh Farahani dan Taraneh Alidosti. Malah Taraneh membenarkan klaim dari mantan murid Farhadi yang dirugikan tersebut. Tapi saya merasa tidak punya kapasitas untuk membahas kasus-kasus demikian secara mandalam. Menurut saya, siapapun pernah berbuat salah dan siapapun dapat tak menyadari kesalahannya. Jikalau benar Farhadi menjiplak ide A Hero dari salah seorang muridnya, bukan tak mungkin film-filmnya yang sebelumnya adalah hasil olah tangan orang luar, atau bisa jadi jiplakan tanpa pernah disadari khalayak luas. Namun bukan berarti Farhadi seketika menjadi sutradara yang buruk. Toh, telah ada yang mengakuinya sebagai sineas besar dunia abad ini. Biarkan ia merenungi kesalahan buruknya itu, sambil menimbang-nimbang langkah apa selanjutnya yang akan diperbuatnya.

Artikel SebelumnyaWrath of Becky
Artikel BerikutnyaThe Childe
Azman H. Bahbereh, lahir dan besar di Singaraja, Bali. Saat ini menempuh pendidikan di Kota Malang. Kegemarannya menonton film telah tumbuh semenjak kecil ketika melihat tarian dengan iringan musik dari jagat sinema Bollywood, terkhusus Soni Soni Akhiyon Wali di film Mohabbatein. Selain menulis film-film yang ditontonnya, ia juga aktif menulis puisi dan bergiat di komunitas sastra yang ada di Kota Malang.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.