Batman Returns (1992)
126 min|Action, Crime, Fantasy|19 Jun 1992
7.1Rating: 7.1 / 10 from 332,740 usersMetascore: 68
While Batman deals with a deformed man calling himself the Penguin wreaking havoc across Gotham with the help of a cruel businessman, a female employee of the latter becomes the Catwoman with her own vendetta.

Film dibuka melalui opening sekuen yang sangat menawan menggambarkan latar belakang sosok The Penguin. Tiga puluh tiga tahun kemudian, Oswald (Danny DeVito), nama asli Penguin, keluar dari persembunyiannya untuk mencari asal-usul dirinya. Oswald dibantu oleh pengusaha licik dan ambisius Max Shreck (Walken) dan bahkan berniat mengangkat sosok Penguin menjadi walikota. Sementara Selina Kyle (Pfeiffer), sekretaris bawahan Shreck yang tak sengaja mengetahui rahasia besarnya, didorong Shreck dari bangunan gedung, namun secara ajaib selamat karena bantuan sekelompok kucing. Selina berubah menjadi sosok Cat Woman. Batman (Keaton) terlibat hubungan rumit dengan ketiga karakter ini dan harus menghentikan niat jahat Penguin.

Walaupun film ini adalah sekuel dari Batman (1989) namun kisahnya sama sekali terpisah. Tidak seperti sebelumnya kisah film kali ini cukup rumit dan penuh intrik untuk penonton dewasa sekali pun. Adegan dialog banyak mendominasi dan minim sekuen aksi. Tokoh-tokohnya yang “absurd” (tidak nalar) berbuntut pula pada jalan kisahnya yang “absurd”, tidak fokus, dan sulit ditebak. Karakter Penguin tak jelas sikapnya, dalam satu sisi ia sangat cerdas namun anehnya emosinya mudah terpancing hingga melakukan hal-hal diluar dugaan yang konyol. Cat Woman yang sebenarnya hanya dendam dengan Shreck juga mencampuri urusan Batman dan Penguin, juga kisah asmara antara Selina dengan Bruce Wayne semakin menambah rumit suasana.

Baca Juga  Batman, Pelopor Film Superhero Modern

Sama seperti Batman (1989), mise en scene menjadi kekuatan besar filmnya. Sentuhan ekspresionis Burton tampak pada aspek setting, kostum, hingga propertinya. Kontinuitas antara setting Batman dan Batman Returns perlu dipertanyakan mengingat sebelumnya lebih kental nuansa gothic-nya sementara kini lebih mengarah post-modern terutama setting kotanya. Setting dan kostumnya kini lebih cerah dan penuh warna ketimbang sebelumnya dan rasanya memang pas untuk karakter plotnya kali ini. Batmobile masih mengesankan sama seperti sebelumnya dengan beberapa kelebihan yang tidak ditampilkan dalam film sebelumnya. Secara umum bisa dikatakan setting film ini adalah yang terbaik dan pas dengan karakter sang superhero diantara film-film Batman lainnya. Terakhir, ilustrasi musik garapan komposer Danny Elfman yang begitu megah turut mengangkat filmnya.

Batman Returns adalah perpaduan antara film komersil dan art movies melalui kisahnya yang kompleks dan absurd serta pendekatan estetiknya yang unik. Film ini jelas bukan ditujukan untuk anak-anak karena kisahnya yang kompleks dan visualisasi karakternya. Karakter Penguin misalnya, sekalipun DeVito bermain baik namun sulit untuk mendapat simpati dari penonton karena penggambaran sosok karakternya yang menyeramkan dan kadang menjijikkan. Batman adalah ikon universal yang kisahnya semestinya mampu menginspirasi banyak orang dalam menegakkan kebenaran dan keadilan namun dalam Batman Returns semua ini sama sekali tak tampak.

Artikel SebelumnyaTrilogi “The Dark Knight”
Artikel BerikutnyaBatman: The Movie, Batman versi Panjang Seri Televisi
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.