Trilogi Batman garapan Christopher Nolan, yakni, Batman Begins, The Dark Knight, The Dark Knigth Rises merupakan fenomena langka dalam sejarah film. Tidak hanya karena mampu menghasilkan lebih dari $ 2 milyar namun juga secara pencapaian tema serta estetik film ini mendapat pujian tinggi dari para pengamat. Belum pernah ada trilogi film yang memiliki pencapaian serupa. Sebenarnya apa yang menjadi kekuatan tiga film ini sehingga sering disebut terobosan baru bagi genre superhero? Apakah karena semata sosok Batman yang memang sudah menjadi ikon universal; apakah pendekatan realistik yang digunakan pencapaian estetiknya; atau pendekatan psikis tema dan kisahnya; atau karena sentuhan ajaib Nolan; atau lainnya? Bisa jadi semua benar. Artikel ini mencoba mengungkap dari sisi tema dan kisahnya, bukan tentang Bruce Wayne, Batman, Joker, atau Bane namun tentang perjalanan seorang manusia menghadapi trauma, rasa takut, serta ujian fisik dan mental maha hebat yang harus dilampauinya untuk bisa menjadi seorang “Superhero”.

Di awal Batman Begins disisipi dengan kisah masa cilik dan remaja Bruce Wayne. Sosok cilik Bruce yang trauma dengan kelelawar harus menghadapi kenyataan pahit melihat dua orang yang dicintainya tewas tragis dihadapannya. Sang ayah berbisik sebelum ajal menjemput,” It’s ok Bruce”, namun ucapan ayahnya tidak bisa begitu saja ditelan oleh sang bocah. Bruce beranjak dewasa menjadi sosok yang penuh amarah dan dendam terutama pada Joe Chill, pembunuh kedua orang tuanya. Nasib berkata lain, ketika Bruce penuh tekad dan sadar resiko berniat membunuh Chill, seseorang menembaknya terlebih dulu. Dua orang merubah sikap Bruce pada titik ini. Orang pertama adalah Rachel, “Justice and revenge never be the same.. justice it’s about harmony and revenge it’s about you making yourself better..“ Lalu kedua adalah Carmine Falcone dengan ucapannya, “people from your world have so much to loose…”. Bruce menyadari bahwa ia belum pernah sesungguhnya menderita dan mengenal dunia kejahatan sama sekali.

Perjalanannya menjadi seorang “kriminal” mempertemukannya dengan sosok Ra’s al Ghul. Dengan kata-kata nan bijak ia mampu membawa Wayne menjadi anggota kelompok anti-kriminal underground, League of Shadow. Ra’s melatih Wayne secara fisik menjadi jauh lebih kuat tapi tidak secara mental. “Your compassion is your weakness your enemies will not share..” ujar Ra’s ketika Wayne enggan mengeksekusi mati seorang kriminal. “..that’s why it’s so important… it’s separate us from them..” jawab Wayne dengan tegas. Sikap ini adalah pondasi dari prinsip yang diyakini Bruce untuk menjadi sosok/simbol yang tak bisa disentuh siapa pun. “As a man I can be destroyed.. but as a symbol I can be incorruptable.. I can be everlasting”. Batman adalah sosok yang bisa melakukan apa saja yang Bruce Wayne tidak mampu lakukan. Dalam klimaks Batman berseteru dengan sang guru dan berhasil mengalahkannya tanpa melanggar prinsipnya. “I won’t kill you but I don’t have to save you” pada Ra’s di akhir klimaks. Batman pun menjadi sosok tanpa lawan dan merupakan harapan baru bagi warga Gotham.

The Dark Knigth menjadi ujian mental maha berat yang sangat berharga bagi Batman dan juga Bruce Wayne. Joker bukan sosok kriminal biasa. Dia adalah seorang psikopat jenius, brutal, dan sadis, dengan langkah-langkah tak terduga. Ia tidak memiliki aturan. Uang bukan tujuannya, bukan pula kekuasaan. “Everythings burn..”. Joker adalah pencuci otak nomer wahid dan sosok Batman yang incoruptable dengan kode moralnya amat menganggunya. Batman dibuat hampir melepas identitasnya dan ia tidak mau membunuh sang jagoan karena menurutnya terlalu menyenangkan untuk dipermainkan. “You complete me… what would I do without you..” ucap Joker pada Batman. Joker memberi pilihan sulit antara Dent dan Rachel, Batman memilih, dan Joker ternyata mengecohnya. Dengan segala kekuatan yang ia miliki, Batman tak mampu menyelamatkan Rachel. Dalam sekuen klimaks, Batman dapat mudah membunuh Joker, dan ia memiliki seribu alasan untuk melakukan itu namun tidak dilakukannya.

Baca Juga  Batman Under the Red Hood, “Sekuel” Sempurna The Dark Knight

Harvey Dent bukanlah Bruce Wayne. Mental Dent tidak sekuat Batman hingga Joker mampu mengubahnya menjadi monster bernama Two Face. Kehilangan Rachel adalah titik batas toleransi mental Dent. Two Face mengeksekusi semua orang termasuk bawahan Gordon yang terlibat atas tewasnya Rachel. Gordon dan Batman masuk dalam daftar selanjutnya. Two Face mengharuskan Gordon memilih antara anak dan istrinya, mana yang harus lebih dulu mati. Batman datang tepat pada momen kritis namun Two Face tewas meninggalkan citra buruk bagi Dent. “But the Joker can not win.. you either die a hero or live long enough to see yourself become the villain.. I can do those thing..” ujar Batman. Batman rela menjadi tumpuan semua kesalahan Two Face agar citra baik Dent tetap terjaga. “He didn’t do anything wrong, why, dad, why?” tanya sang putra kebingungan melihat Batman pergi ketika suara polisi dan gonggongan anjing mulai terdengar. Gordon menjawab “.. he’s the hero Gotham deserve.. but not the one it needs right now. So we’ll hunt him, because he can take it. Because he’s not our hero.. he’s a silent guardian, a wacthfull protector, and a Dark Knigth.”. Batman telah menjadi sosok yang jauh lebih mulia. More than just a hero.

Batman menjadi sosok tanpa tanding dan secara mental sudah teruji demikian hebat. Lalu tes macam apa lagi? Dalam The Dark Knight Rises dengan cerdik Nolan memajukan kisahnya delapan tahun setelah peristiwa The Dark Knight dan Batman absen selama itu. Bruce tampak lebih tua, ia tidak lagi pada masa puncaknya dan fisiknya tak sekuat dulu. Bane datang dengan segala pesona, power, dan otaknya yang cerdas untuk menghancurkan Gotham. Batman dengan karisma masa lalunya masih menyisakan sedikit kekuatan untuk menghalangi niat Bane. Namun usahanya tak cukup. Bane bukanlah Joker. Ia tak ingin mempermainkan mental Batman namun menghancurkan apa yang semua Bruce miliki hingga ia tidak memiliki lagi apapun. Semua hartanya lenyap. Semua orang terdekatnya termasuk Alfred meninggalkannya. Semua properti Batman dirampas. Dalam satu pertarungan yang tak seimbang, Bane melumpuhkan Batman, baik fisik maupun mental. Bruce dijebloskan ke dalam lubang neraka sementara Bane menjadi penguasa Gotham. Tak ada lagi yang bersisa pada Bruce Wayne kecuali jiwanya. Dari balik sel, Bruce hanya mampu melihat Gotham diambang kehancuran.

Dengan sisa bara api dalam jiwa dan dorongan memori masa lalunya, Bruce mampu bangkit dan melakukan hal mustahil keluar dari lubang neraka. Bruce menjadi sosok yang berbeda, sosok yang lebih kuat jiwa dan raga. Sosok yang mampu lepas dari rasa takut apapun. Bersama sisa warga Gotham yang ada, Batman ikut bertarung melawan pasukan Bane di siang hari bolong. Batman kembali berhadapan dengan Bane, dan kini situasi berbicara lain, Bane bukan lagi tandingannya. Twist di akhir film adalah kejutan buat penonton tapi tidak buat Batman. Batman akhirnya menjadi sebuah legenda hidup yang menjadi inspirasi jutaan warga Gotham untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

Trilogi “The Dark Knight” sejatinya adalah berbicara tentang pengorbanan. Pengobanan Bruce terhadap dirinya sendiri, orang-orang terdekat yang ia cintai, warga Gotham, bahkan hingga musuh-musuhnya. Trilogi ini adalah sebuah perjalanan panjang seorang manusia menjadi sosok manusia yang lebih dari sekedar manusia, seorang manusia sejati. Seorang pahlawan yang lebih dari sekedar pahlawan. Semua orang membutuhkan pahlawan dan siapa pun bisa menjadi pahlawan. Kisah heroik Batman bisa menjadi inspirasi kita semua. You can ask yourself… can you give everything when you’ve got nothing at all.. if you really can.. then you can called yourself a “Superhero”.

Artikel SebelumnyaBatman Under the Red Hood, “Sekuel” Sempurna The Dark Knight
Artikel BerikutnyaBatman Returns, Perpaduan Komersial dan Art Movies
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

2 TANGGAPAN

  1. film superhero terbaik, i mean it’s really good. at this time nothing a movie or trilogy that can compete this dark night trilogy. nice article 😀

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.