Brightburn (2019)
90 min|Drama, Horror, Mystery|24 May 2019
6.1Rating: 6.1 / 10 from 110,483 usersMetascore: 44
What if a child from another world crash-landed on Earth, but instead of becoming a hero to mankind, he proved to be something far more sinister?

Pernahkah kamu berpikir jika Superman yang datang ke bumi sejak bayi ternyata adalah seorang yang berhati jahat? Brightburn setidaknya mampu memberi gambaran kasarnya jika ini terjadi. Sineas The Guardian of the Galaxy, kali ini menjadi produser dengan memercayakan David Yarovesky untuk duduk di bangku sutradara. Film berbujet hanya US$ 7 juta ini dibintangi oleh Elizabeth Banks, David Denman, serta pemain remaja, Jackson A. Dunn. Dengan premis cerita menarik serta kombinasi genre horor dan superhero (antihero?) mampukah film ini melebihi ekspektasi?

Alkisah Tori dan Kyle adalah sepasang suami istri yang mendambakan seorang anak. Tak disangka, sebuah meteor jatuh tak jauh dari rumah mereka yang berisi seorang bayi laki-laki. Mereka lalu mengasuh sang bayi yang mereka beri nama Brandon hingga ia remaja dengan penuh cinta kasih. Tidak hingga sang bocah yang tampak normal, secara perlahan berubah menjadi sosok yang penuh dendam dan ternyata memiliki kekuatan super yang luar biasa.

Kisahnya adalah antitesis Superman. Clark Kent berhati baik, namun Brandon sebaliknya.  Premis ini tentu memberikan potensi pengembangan subgenre superhero yang luar biasa hebat. Sayangnya, pengembangan kisahnya jauh dari yang dibayangkan dengan banyak mengabaikan logika serta pengembangan cerita yang lemah. Memang tidak dijelaskan asal muasal sang bayi dan mengapa ia harus didorong melakukan sesuatu yang justru menyakiti orang lain. Okelah, kita anggap saja sifat alaminya begitu (dari planet asalnya), namun ini tetap tidak menjelaskan banyak lubang plot di kisahnya. Dengan kekuatan super dan mampu bergerak secepat kilat, untuk apa bermain kucing-kucingan dengan cara yang tak masuk akal hingga ia tak mampu mengetahui seseorang yang bersembunyi di dekatnya. Satu sajian aksi pada segmen klimaksnya, sungguh membuat frustasi dan melelahkan. Benar-benar sebuah pengembangan naskah yang buruk.

Baca Juga  Passengers

Tokoh utamanya memang remaja, namun jangan harap filmnya bakal menampilkan aksi-aksi manis dan menghibur seperti film “superhero” kebanyakan. Ini tentu juga membawa pertanyaan besar, soal sensor aksi brutal yang belum lama ini tersaji melalui Hellboy. Film ini sama sekali tidak kita rasakan adanya potongan gambar kasar, namun banyak menampilkan adegan yang super brutal! Satu momen mengerikan tersaji ketika seorang perempuan harus mengambil pecahan kaca dari matanya. Momen ini langsung mengingatkan pada satu adegan film bisu klasik beraliran surealis karya Luis Bunuel, dan kesamaan lainnya adalah sama-sama absurdnya (logikanya)!

Dengan segala potensi genre dan premisnya, Brightburn melewatkan satu kesempatan besar yang dirusak oleh pengembangan naskah dan logika kisahnya sendiri. Untuk genrenya, sisi dan trik horor jelas menjadi satu nilai lebih filmnya. Untuk bujetnya, pencapaian efek visualnya pun tidak buruk-buruk amat. Hanya penampilan para pemainnya yang sangat baik menjadi terasa sia-sia karena pengembangan naskahnya. Satu sisi lemah lainnya adalah nilai moral filmnya yang tidak memberikan satu hal yang positif. Brandon seolah terlahir hanya untuk merusak. Ketulusan hati orang tuanya tidak berbuah manis apa pun. Brandon adalah simbol kehancuran dan amarah yang semata hanya ingin menghancurkan dunia. Sang antagonis besar macam Thanos pun hanya menginginkan keseimbangan bukan kehancuran.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaPokémon Detective Pikachu
Artikel BerikutnyaPariban: Idola dari Tanah Jawa
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.