Vantage Point (2008)
90 min|Action, Crime, Drama|22 Feb 2008
6.6Rating: 6.6 / 10 from 154,851 usersMetascore: 40
The attempted assassination of the American President is told and re-told from several different perspectives.

The Vantage Point arahan sineas TV, Pete Travis merupakan sebuah film aksi-thriller yang dikemas berbeda dengan film-film mainstream Hollywood umumnya. Film ini dibintangi sederetan aktor-aktris besar seperti Dennis Quaid, Sigourney Weaver, Forest Whitaker, serta William Hurt.

Cerita filmnya berlatar konferensi internasional anti-terorisme yang berlangsung di kota Salamanca, Spanyol. Acara pembukaan diadakan di plaza kota Salamanca dengan dihadiri ribuan warga kota serta turis asing. Sesaat sebelum Presiden Ashton (Amerika) berpidato di podium, tiba-tiba ia ditembak secara misterius. Ribuan warga kontan panik, namun belum sempat penonton bernafas lega beberapa menit kemudian sebuah bom meledak tepat di bawah podium. Aksi teror tersebut rupanya telah diantisipasi sebelumnya oleh pihak intelegen Amerika, karena di tempat lain, Ashton (presiden asli) ternyata masih bugar dan yang ditembak ternyata adalah kembarannya. Thomas Barnes (Quaid), salah seorang pengawal Presiden secara tidak sengaja mengetahui jika salah satu rekannya ternyata terlibat dalam aksi teror tersebut.

Satu yang menjadi nilai lebih dalam film ini adalah cara bertutur nonlinier-nya. Kisah filmnya dituturkan menggunakan model struktur cerita film Jepang klasik, Rashomon karya Akira Kurosawa. Rashomon menggunakan empat karakter berbeda untuk menuturkan satu momen peristiwa dari sudut pandang mereka masing-masing sementara Vantage Point menggunakan hingga lima karakter lebih. Film dapat dibagi menjadi enam segmen yang masing-masing menggunakan sudut pandang karakter yang berbeda, yaitu seorang produser televisi, seorang pengawal presiden, seorang polisi lokal, seorang turis Amerika, Presiden Amerika, serta pihak teroris. Lima segmen awal tampak konsisten dengan menggunakan sudut pandang perorangan. Namun sangat disayangkan pada segmen akhir, pola tersebut mulai “rusak” dengan penggunaan sudut pandang dari setidaknya 4-5 orang (walaupun 3-4 orang di antaranya adalah pihak yang sama/teroris). Mengapa sineas tidak mencoba mempertahankan pola yang sejak awal telah dibangun begitu apik? Setidaknya pada segmen akhir sineas sepatutnya memberikan pembedaan yang tegas dari segmen-segmen sebelumnya, sehingga penonton sadar akan adanya perubahan pola tersebut.

Baca Juga  Dari Redaksi mOntase

Satu lagi yang menjadi nilai lebih adalah tiap segmennya dirancang begitu rapi dan detil. Segmen satu dengan segmen lainnya mampu saling mengisi dengan baik dimana misteri semakin terkuak dengan munculnya segmen-segmen berikutnya. Unsur ketegangan juga mampu terjaga dengan baik sejak awal hingga akhir filmnya. Namun kelemahan plotnya justru tidak terdapat pada unsur suspense-nya namun pada banyaknya “unsur kebetulan” yang terjadi dalam kisahnya. Memang benar, biasanya film-film fiksi adalah cerita rekaan yang memungkinkan banyak hal terjadi secara kebetulan namun dalam film ini rasanya terlalu berlebihan. Beberapa momen penting (terutama setelah bom meledak) banyak tercipta dari “unsur kebetulan” ini. Pada adegan akhir misalnya, sesaat setelah Barnes menembaki rekannya di bawah jalan layang, mobil ambulans yang berisi pimpinan teroris dan Presiden AS mendadak tergelincir dan terbalik tidak jauh darinya akibat menghindari seorang gadis cilik. Masalah selesai demikian mudah dan Barnes menjadi pahlawan. Bukankah bisa saja terjadi? Bisa jadi, namun rasanya terlalu kebetulan (baca: mudah).

Artikel SebelumnyaNo Country For Old Men
Artikel BerikutnyaButterfly, Melayang Tinggi Entah Kemana…
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.