DOA (Doyok-Otoy-Ali Oncom): Cari Jodoh (2018)
83 min|Comedy|16 Aug 2018
6.2Rating: 6.2 / 10 from 85 usersMetascore: N/A
Otoy and Ali remind Doyok to find a match. Doyok seeks his true love from blind dates. It is thrilling because they get stuck in difficult situations.

DOA: Cari Jodoh merupakan film drama komedi produksi MD Pictures, besutan sutradara Anggy Umbara. Sang sineas kita kenal memang sering memproduksi film-film komedi populer, seperti Comic 8 (2014), Comic 8: Casino Kings Part 1 (2015) dan sekuelnya hingga Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016) serta sekuelnya. DOA: Cari Jodoh merupakan film komedi yang diadaptasi dari animasi (cerita pendek bergambar) populer di sebuah harian Pos Kota, Jakarta yang telah terbit sejak tahun 1970-an. Ketiga sosok ini melekat di ingatan masyarakat sebagai karakter yang khas, menghibur, serta sering kali menyampaikan kritik dan isu sosial maupun politik. Film ini tentunya menjadi nostalgia bagi penggemar kartun Doyok, Otoy, dan Ali Oncom di harian tersebut. Tak hanya itu, sejak Mei 2018 lalu, ternyata tiga karakter ini juga telah dibuat serial animasinya di MNC TV.

Alkisah, tiga orang pemuda memiliki karakter berbeda-beda, yakni Doyok (Fedi Nuril), Otoy (Pandji Pragiwaksono), dan Ali Oncom (Dwi Sasono). Doyok merupakan pemuda asli Jogja yang merantau ke Jakarta. Sementara Otoy dan Ali Oncom telah lama tinggal di Jakarta. Mereka merupakan orang berstatus menengah ke bawah dan satu orang pengangguran. Doyok yang belum memiliki pasangan selalu diejek dua temannya serta dihantui wejangan simbok-nya yang menginginkan ia segera menikah. Otoy dan Ali Oncom sebagai teman yang setia kawan, akhirnya mencari berbagai cara untuk menemukan pasangan bagi Doyok. Petualangan pun dimulai dan menemukan hal-hal yang tak mereka duga.

Plot filmnya sederhana dan terfokus pada pencarian jodoh bagi Doyok serta keseharian mereka di sebuah kampung fiktif yang bernama “Pos Kota”. Tak ada yang istimewa dari cerita filmnya, namun sang sineas mengemasnya dengan ringan dan menghibur. Plotnya terbagi menjadi tiga segmen yang mengisahkan ketiga tokoh tersebut mencari berbagai cara untuk mendapatkan pasangan bagi rekannya. Pada segmen awal hingga pertengahan, penonton menikmati bagaimana keseharian mereka dengan berbagai konflik yang mereka hadapi, namun pada babak akhir cerita, mulai bergeser dan mengada-ada sehingga klimaks dan ending filmnya kurang begitu greget.

Baca Juga  Dua Garis Biru

Bukan ceritanya yang menarik dari filmnya, namun adalah ketiga tokoh ini mampu menjadi penggerak cerita dan memberikan bumbu komedi bagi plot filmnya. Sang sineas mampu membangun karakterisasi tokoh dengan apik dan pas. Seperti kartunnya, sosok Doyok identik dengan orang yang suka mengomentari masalah sosial dan politik, walaupun hanya sekedar tempelan. Fedi Nuril sendiri yang sering bermain dalam film roman religi, kali ini membuktikan kualitas aktingnya sebagai karakter yang kocak dan suka membanyol. Dwi Sasono yang memerankan Ali Oncom pun mampu mendalami karakternya dengan maksimal, dan lepas dari sosok asli Dwi Sasono.

Hal yang menarik dalam filmnya justru cara mengemas melalui pendekatan sinematiknya. Seperti halnya Warkop DKI, teknik “menembus tembok ke empat”, di mana tokoh cerita berbicara dengan penonton menjadi ciri khas film ini. Unsur musikal ala-ala India di beberapa adegan filmnya juga menambah nuansa komedi yang berbeda. Musik dan lagu tema selalu mengiringi ketiga tokoh ini, dengan liriknya “…Doyok, Otoy, Ali Oncom…” selalu terngiang bahkan sampai keluar dari bioskop. Banyolan dan plesetan terkait film yang pernah mereka (pemain) mainkan pun, sering menjadi bahan lelucon yang membuat gelak tawa seisi bioskop. Seperti Fahri misalnya, yang pernah bermain di Ayat-Ayat Cinta.

Terlepas dari ceritanya yang sudah umum, Doa: Cari Jodoh telah mampu menciptakan tiga karakter live-action, yang diperankan sangat baik oleh para pemainnya. Satu ndeso, satu sok tau, dan satu lagi kegatelan memunculkan sosok-sosok yang berkarakter fresh. Saya yakin, film ini mampu dikembangkan menjadi sebuah seri berkelanjutan, seperti halnya Warkop DKI. Terlebih, ketiga karakter ini telah memiliki penggemar dari kartunnya. Ketiga sosok ini masih bisa diolah lagi dengan kisah yang lebih kuat, merujuk pada cerita-cerita di kartunnya. Jika pembuat film melihat peluang ini maka ini adalah  awal dari kisah-kisah komedi yang bakal dinanti oleh penonton kita.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaThe Equalizer 2
Artikel BerikutnyaMile 22
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.