Good Mother

Kerelaan seorang ibu untuk mencurahkan segalanya demi kebahagiaan anaknya boleh jadi lebih kerap terjadi di mana-mana, daripada yang tidak. Hafsia Herzi merasa tema tersebut penting untuk ia bawakan dalam Good Mother, yang ia arahkan dan tulis sendiri naskahnya. Film drama kriminal dengan menonjolkan sisi-sisi kehangatan keluarga ini diproduksi oleh SBS Productions dan Arte France Cinéma yang berasosiasi dengan Cinécap 4, Cinémage 15, dan Indéfilms 9. Sebagian besar pemainnya, termasuk tiga bersaudara Benhamed, Halima, Sabrina, dan Maria adalah aktor nonprofesional atau amatir, seperti Jawed Hannachi Herzi dan Malik Bouchenaf. Kecuali Mourad Tahar Boussatha serta Sophie Garagnon. Mungkinkah Herzi memakai unsur-unsur French New Wave dalam Good Mother? Hampir. Bukan tidak mungkin.

“As long as I’m right, I’ll stay strong.”

Nora (Halima) dan sanak familinya hanyalah rakyat kecil di lingkungan masyarakat biasa yang sekadar ingin hidup dalam kehangatan keluarga. Namun keberadaan putranya, Ellyes (Boussatha) di penjara mengubah cukup banyak hal dalam hidup Nora. Kesehariannya mesti bergelut dengan upaya-upaya mencari kemungkinan hukum untuk membebaskan atau setidaknya meringankan sanksi putranya. Terutama dengan biaya sewa pengacara yang amat besar bagi kemampuan ekonominya.

Teknis pertama yang paling kentara diterapkan oleh pengarah gambar Good Mother adalah pada aspek dimensi kamera terhadap obyek. Pengambilan gambar dalam film ini selalu berada pada jarak yang dekat dengan para tokohnya. Gambar terjauhnya bahkan tak meninggalkan tokohnya hingga lebih kecil dari tinggi layar. Kita akan banyak sekali menjumpai gambar-gambar close up selama menonton Good Mother. Amat personal, terutama terhadap sang tokoh utama, ibu paruh baya kita, Nora (Halima). Melihat kisah filmnya pun ihwal upaya Nora untuk membebaskan putranya, atau setidaknya meringankan hukuman Ellyes (Malik Bouchenaf).

Good Mother tampil dengan cerita yang hampir seperti rata-rata budaya keseharian masyarakat Prancis kelas ekonomi menengah ke bawah. Interaksi antarpersonal, candaan dari satu ke yang lainnya, solidaritas, hingga ke aturan-aturannya. Begitu jujur, dengan banyak sekali dialog obrolan biasa antartokoh. Satu sisi, ini membuat Good Mother makin dekat dengan realitas. Namun di sisi lain, ini berdampak besar pada ada atau tidaknya eskalasi tensi dramatik hingga mencapai klimaks. Good Mother nyatanya tidak mencoba untuk memasukkan elemen-elemen yang dapat memberikan eskalasi signifikan dari waktu ke waktu.

Baca Juga  Our Men (Festival Sinema Prancis)

Perhatian untuk menjaga sisi realitas Good Mother sedekat mungkin dengan keseharian nyata, mengakibatkan film ini cenderung serupa dengan dokumenter observasi alih-alih film fiksi dengan genre drama. Sineas sekadar membawa penonton mengikuti rutinitas sehari-hari para tokohnya, di samping upaya hukum untuk putra Nora. Hampir tanpa sentakan-sentakan konflik yang berarti. Walau beberapa kali terdapat momen dramatis. Tensi gejolak dalam klimaksnya pun tak terasa menjadi yang paling tinggi ketimbang konflik lainnya. Selisihnya tipis. Bahkan hampir sama rendahnya dengan tensi dramatik dalam segmen lainnya, yang sudah tidak terlalu tinggi. Apalagi, dengan fakta siapa-siapa saja yang bermain di dalam Good Mother.

Good Mother, nyaris sepenuhnya diisi oleh orang-orang yang belum punya rekam jejak olah peran sebelumnya, dalam film manapun. Kecuali Boussatha yang sudah kerap malang-melintang di serial televisi, dan Garagnon. Sekitar 94% bukanlah orang-orang yang sudah biasa bermain olah peran di layar lebar. Sesuatu yang kemudian kian menguatkan kesan kita terhadap film ini sebagai dokumenter, daripada fiksi. Semakin terasa lagi, karena sang sineas tak banyak memberikan pengemasan sinematik khusus. Jika sineas melakukan ini agar membuat penonton menganggap dia menggunakan French New Wave, sepertinya kurang benar-benar berhasil. Toh, dia seakan mencampur-campurkan formula dalam filmnya ini.

Dengan kejujurannya, Good Mother terasa amat dekat dengan personal tokoh utamanya, tetapi sekaligus pula banyak menurunkan tensi dramatik. Sukar rasanya “menyalami” Herzi atas karya filmnya ini, ketika hasil jadinya malah kabur antara fiksi atau dokumenter. Kalaupun kita tak mempersoalkan semua ini, dia pun beberapa kali memasukkan plot-plot sampingan yang tidak penting dalam naskah. Plot-plot yang justru menyingkirkan konsentrasi penonton dari tokoh utama dan permasalahan yang tengah ia hadapi, ke aktivitas dari tokoh lain entah siapa. Walau aspek kejujuran dan kedekatan personal dalam Good Mother pada akhirnya menghadirkan momen dramatik yang amat kuat, terhadap seorang Nora. Ibu paruh baya yang berjuang keras mengumpulkan uang untuk membayar tagihan besar dari pengacara, demi persidangan putranya yang mendekam di penjara.

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaMr. Harrigan’s Phone
Artikel BerikutnyaOur Men (Festival Sinema Prancis)
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.