Film-film bertema perang, konfrontasi senjata, mempertahankan perbatasan, memberantas terorisme, dst, sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Masing-masing yang terbaik pun membawakan pula isu atau tema khusus, selain perkara adu tembakan. Begitu pula menurut Rachel Lang lewat Our Men. Film yang ia arahkan dan tulis sendiri. Melalui produksi ChevalDeuxTrois dan Wrong Men North, film drama roman keluarga dan laga peperangan ini Rachel buat dengan spirit yang kental, mengenai “tentara juga manusia biasa”. Para pemainnya antara lain Ina Marija Bartaité, Camille Cottin, Louis Garrel, Aleksandr Kuznetsov, Léo Lévy, Naidra Ayadi, dan Jean Michelangeli. Apa tawaran dari sang sineas melalui film perang versinya ini?
“I hope there’s nothing another war.”
Kedatangan tanpa kabar Nika (Bartaité) untuk menyusul kekasihnya, Vlad (Kuznetsov), sedikit mengejutkan prajurit muda tersebut. Nika juga bertemu Céline (Cottin) yang ternyata adalah istri dari atasan Vlad, Maxime (Garrel). Relasi yang kemudian tanpa sengaja terbentuk, menghubungkan mereka berempat ke konflik-konflik tak berkeseduhaan. Perdebatan benar-salah antara pihak laki-laki yang mesti menjalankan misi militer mereka, dengan para wanita yang ditinggalkan di rumah. Céline dan Maxime mungkin sudah tampak lebih berpengalaman menghadapi situasi tersebut. Namun bagi Nika dan Vlad, ujung hubungan mereka belum tentu sama.
Film tentang perang kerap kali membawa sisi menariknya tersendiri bagi khalayak penonton. Peperangan menyajikan ketegangan yang khas dari sajian baku tembak, luka-luka, serangan, hingga sisi kemanusiaan di antara para tentaranya. Bahkan tak jarang film-film bertema perang menunjukkan sisi lain yang menjadi kelemahan para serdadunya. Bahwa ternyata ada problematika keluarga yang harus sering ditinggal karena alasan misi, sampai kerelaan bila sang prajurit ternyata gugur di medan laga. Our Men banyak menyajikan pergumulan masalah manusiawi dari dua sosok tentaranya, Maxime (Garrel) dengan sang istri, Céline (Cottin), dan putra mereka, Paul (Lévy), serta Vlad (Kuznetsov) dengan kekasihnya, Nika (Bartaité).
Walau secara sekilas tampak baik-baik saja dan menawarkan sudut pandang lain dalam melihat para serdadu. Bahwa mereka sebetulnya tetaplah manusia biasa yang punya kekurangan. Jika diamati dengan lebih seksama, Our Men seakan kebingungan pula dalam meletakkan plot utamanya. Apakah berdiri bersama Nika sebagai salah satu sosok di antara banyak wanita yang kerap ditinggal karena tugas militer, ataukah berjalan mengikuti Vlad dengan masalah-masalah tak terduga yang tiba-tiba harus ia hadapi di medan perang? Our Men bila dibaca dengan teliti seperti berjalan dengan dua plot yang sama besarnya. Vlad dan urusan militer dan misi-misinya, serta Nika dengan kesepiannya dan kehidupan tanpa kepastian karena Vlad yang selalu datang dan pergi.
Memang jika melihat film-film lainnya dengan tema serupa, konsep dua plot sama besar yang berjalan beriringan sambil saling memengaruhi juga ada lagi. The Bombardment misalnya. Contoh dengan kemungkinan terdekatnya, paling tidak. Namun cara penyajian semacam itu tentu meminta pendekatan berbeda, alih-alih hanya melihat satu pokok cerita saja. Begitu pula dengan teknis-teknis sang sineas dalam menyajikan masing-masing cerita secara silih berganti. Our Men memperlihatkan perasaan campur-aduk dari pihak yang terus ditinggalkan karena alasan misi. Film ini pun menimpali kondisi itu dengan menunjukkan beban yang mesti dipikul oleh para prajurit di medan laga. Termasuk serangan mental, ketika salah seorang rekan mereka tewas. Terlebih, bagi perasaan sang kapten.
Aspek setting pun sering menjadi nilai lebih setiap film peperangan. Lihat saja bagaimana The East dan Black Crab menyajikan aspek ini lewat scene-scene perjalanan para prajurit mereka. Megah, istimewa, khas, dan unik.
Our Men tampil dengan beberapa kali menunjukkan kebingungan lewat dua plotnya yang sama besar, meski masing-masing punya daya tawar. Satu hal paling dominan yang dapat dinikmati dari sajian Rachel ini –juga film-film perang lain—adalah sisi humanismenya. Kendati terlepas dari fungsinya, akan lebih baik dan humanis bila perang tidak perlu ada. Mengamati pula terhadap jalan tengah dari konfrontasi antara kedua belah pihak, rasanya agak kurang adil bagi nasib akhir sang prajurit yang Rachel sorot dalam ceritanya. Jikapun ingin dibuat salah satunya dijemput ajal, akan lebih baik bila ditutup dengan ending terbuka. Artinya, Nika boleh jadi telah menemukan solusinya sendiri, tetapi Vlad juga tidak sampai terlihat bernasib lebih buruk.