Studio A24 kita kenal selalu memproduksi serta merilis film-film horor berkonsep unik. Heretic adalah film horor thriller arahan Scott Beck dan Bryan Woods. Film minim pemain ini dibintangi aktor senior Hugh Grant, serta dua bintang muda, Sophie Thatcher dan Chloe East. Bermodal bujet kurang dari USD 10 juta, apakah Heretic mampu mengusung tren horor bagus yang seperti yang biasa dirilis studionya?

Dua orang misionaris Mormon, Suster Barnes (Thatcher) dan Paxton (East), berkunjung ke seorang paruh baya asal Inggris bernama Reed yang memang mengundang mereka. Suster Barnes dan Paxton sudah mengalami keganjilan sejak mereka masuk ke dalam rumah. Namun, alih-alih mereka yang berbicara, justru sang pemilik rumah yang memaparkan sikapnya yang mempertanyakan agama. Suster Barnes dan Paxton sama sekali tidak menyadari bahwa telah masuk ke dalam sebuah perangkap yang bakal menguji keimanan mereka.

Horor memang sebuah genre yang fleksibel dan mampu beradaptasi dengan tema dan konsep apa pun. Dengan brilian, naskah Heretic menyelipkan tema religius dengan segala konsep agama tanpa harus berkhotbah atau bahkan merendahkan salah satunya. Konsepnya mirip dengan film horor psikologis kita, Siksa Kubur, garapan Joko Anwar, yang mempertanyakan apakah siksa kubur sungguh-sungguh eksis? Sementara Heretic lebih luas menawarkan dan mempertanyakan eksistensi religius, apakah agama semata hanya rekaan manusia, dan lantas agama mana yang memiliki kebenaran sejati? Ini tentu satu topik yang amat menarik, sensitif, sekaligus menggelitik.

Satu hal yang membuat rasa penasaran adalah bagaimana Heretic merespon dan menjawab pertanyaan maha besar tersebut. Siksa Kubur menjawabnya dengan menawarkan beragam tafsir, baik secara psikologis, agama, hingga logika. Jawaban dan pilihan terhadap tafsiran, berada penuh di tangan penonton. Benar atau salah tidak bisa diputuskan secara absolut. Sementara Heretic membangun konsepnya dengan menggunakan dialog serta debat panjang yang tidak berujung dan secara konstan mengusik rasa penasaran. Dua pihak ini mencoba memaparkan argumennya masing-masing dan sisi ketegangan pun makin meningkat sejak paruh kedua. Satu hal yang bisa saya katakan adalah Heretic menjawabnya dengan brutal dan tegas, tanpa ada tafsir barang sedikit pun.

Baca Juga  Ferdinand

Di luar konsep, naskah, dan dialognya, satu kekuatan besar film ini adalah penampilan akting tiga tokoh utamanya. Dua bintang muda, Sophie Thatcher dan Chloe East bermain apik sebagai dua suster muda berbeda karakter yang dipaksa untuk beradu argumen tentang keyakinan mereka. Sejak opening melalui akting dan dialog panjang, penampilan mereka telah mencuri perhatian. Namun adalah aktor kawakan Hugh Grant yang memiliki performa paling gemilang. Grant yang lazimnya tampil dalam film drama dan komedi serta tipikal protagonis rupanya mampu tampil meyakinkan dan mengintimidasi tanpa melepas gaya akting kasual serta senyumnya yang khas.

Heretic menawarkan horor thriller minimalis unik dengan konsep tema religius melalui dukungan kuat tiga kasting utamanya. Film ini dengan dialog-dialog panjangnya bakal membuat bosan penonton awam. Tak semua orang bisa “terhibur” dengan dialog-dialog “berat” macam ini. Walau proses tarik ulurnya bisa kita akui sebagai sesuatu yang brilian, namun tidak dengan resolusinya yang terlalu bermain aman. Ini tentu butuh ulasan dan diskusi yang lebih mendalam lagi. Heretic adalah satu tontonan horor yang bukan diperuntukkan penonton yang mencari jump scare dan ketegangan horor kebanyakan. A24 rupanya masih menawarkan tren horor yang unik dan berkualitas tinggi.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaWicked
Artikel BerikutnyaPantaskah Aku Berhijab
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.