Menonton film komedi merupakan salah satu hiburan di akhir aktivitas yang sangat menyenangkan. Tidak salah jika selepas bekerja saya pun memilih menonton film Yowis Ben yang jumlah layar pemutarannya lebih banyak dibandingkan film lain di bioskop yang saya kunjungi. Setelah kecewa menonton film drama romantis dengan harapan bernostalgia yang sangat besar, Yowis Ben juga membuat saya bernostalgia ke masa lalu. Mengapa?
Yowis Ben mengisahkan empat remaja laki-laki yang masih duduk di bangku SMA. Bayu (Bayu Skak), Doni (Joshua Suherman), Yayan (Tutus Thompson), dan Nando (Brandon Salim) sangat menginginkan kesempatan untuk membuktikan potensi diri mereka hingga bergabung dalam sebuah band. Pada awalnya, kemampuan mereka masih terbilang payah. Perjuangan mereka untuk membangun band mereka yang bernama Yowis Ben ini juga harus berhadapan dengan masalah percintaan Bayu dengan Susan (Cut Meyriska), gadis cantik pujaan hatinya. Tetapi mereka tidak putus asa dan terus berjuang untuk membuktikan bahwa mereka bisa berkarya dan berprestasi.
Yowis Ben merupakan film arahan Fajar Nugros dan Bayu Skak. Selain sebagai sutradara dan pemain, Bayu Skak juga merangkap sebagai penulis naskah. Bertindak sebagai produser adalah Chand Parwez Servia dan Fiaz Servia yang sebelumnya meraih sukses berkat film komedi, Susah Sinyal. Hal yang unik, Yowis Ben digarap dalam bahasa Jawa Timur sepanjang filmnya. Ya, karena setting film adalah di kota Malang, wilayah asal Bayu Skak. Tentu saja, para pemain utama diwajibkan menggunakan bahasa dan logat Jawa Timur. Beberapa pemain memang tidak melafalkan bahasa Jawa dengan fasih atau bahkan tidak bicara sama sekali karena dikisahkan memang bukan orang Malang dan tinggalnya berpindah-pindah. Kemungkinan itu adalah trik untuk mengurangi kejanggalan atas ketidakluwesan pemain dalam berakses Jawa Timur yang tentunya tidak mudah bagi orang yang tidak berasal dari sana. Jujur saja, meskipun seringkali harus membaca teks terjemahan karena tidak paham, saya sangat menikmati penggunaan bahasa dan logat Jawa Timur di film ini dan ada perasaan bangga terhadap inovasi film Indonesia kekinian ini. Berani menciptakan sesuatu yang unik dan khas, ditengah ramainya produk media massa yang memberikan pengaruh pada berkurangnya apresiasi terhadap budaya Indonesia. Saya benar-benar haus dengan film yang ‘Indonesia banget’.
Para pemain berperan dengan cukup baik, meski tidak ada satu lakon pun yang aktingnya berkesan. Saya hanya tersenyum-senyum melihat akting Joshua yang tampak cocok sekali memerankan karakter remaja dari Jawa Timur. Dengan kualitas naratif yang biasa-biasa saja, film ini juga tidak dibantu dengan kualitas sinematik. Pengambilan gambar dan properti yang digunakan pun tidak ada yang mengesankan. Bahkan tampak sekali, film ini dibuat sekedarnya. Adegan-adegan yang disajikan pun tidak mengesankan. Seandainya konflik yang diceritakan digali dengan lebih dalam, tentu akan lebih dapat memberikan intensitas adegan sehingga memberikan kesan yang membekas di benak penonton. Untung saja, lagu-lagu yang dimainkan mampu menciptakan mood yang membuat saya ingin ikut bernyanyi. Musik ringan dengan lirik bahasa Jawa membuat saya bernostalgia dengan keasyikan menjadi anak SMA yang menikmati band-band sekolah belasan tahun yang lalu.
Lalu apakah film komedi ini berhasil membuat penonton tertawa terbahak-bahak? Sayang sekali, dibandingkan film-film komedi yang tayang setidaknya setahun belakangan ini, Yowis Ben bisa dikatakan kalah lucu. Memang banyak dialog-dialog yang lucu, tapi cukup banyak juga yang terasa garing. Kemungkinan besar, nama dan citra komedian yang aktif dengan video Youtube, Bayu Skak-lah yang menjadi daya tarik penonton. Film sejenis ini kemungkinan besar akan terus diproduksi karena hal yang paling mendasar: modal sedikit, waktu produksi yang singkat dan keuntungan yang cukup besar. Sangat efektif dan efisien bagi produser. Mudah dikerjakan bagi penulis dan sutradara. Dan, setidaknya cukup menghibur bagi penonton.
Lucu atau tidak, Yowis Ben tetap patut diapresiasi karena telah melakukan upaya untuk mengembalikan nilai-nilai kearifan lokal dalam industri film lokal yang belakangan lebih mengedepankan kemewahan dan keunggulan budaya luar negeri. Meskipun dikemas dalam sajian komedi, Yowis Ben memberikan pesan moral yang baik, khususnya kepada generasi muda. Film ini turut mengkampanyekan kepedulian rasa cinta terhadap budaya, bangsa dan tanah air salah satu caranya adalah dengan menjalin pertemanan yang solid tanpa memandang suku dan agama. Selain itu juga film ini mampu memberikan motivasi untuk berkarya dan berprestasi.
WATCH TRAILER