Film horor ini disutradarai dan diproduseri oleh Rocky Soraya. Film ini bukan kali pertama sang sineas memproduksi genre serupa. Karyanya The Doll (2015) dan The Doll 2 (2016) telah menjadi salah satu film horor yang laris. Mengulang kesuksesan film-film ini, Mata Batin juga tak kalah kini telah meraih hampir 700 ribu penonton. Film ini sendiri berkisah tentang seorang anak bernama Abel (Bianca Hello) yang memiliki kemampuan untuk melihat sosok makluk halus, dengan mata batinnya. Kakaknya, Alia (Jessica Mila) yang menganggap adiknya berhalusinasi akhirnya memutuskan untuk dibuka mata batinnya oleh Bu Windu (Citra Prima). Tak disangka, setelah itu Alia melihat hal-hal yang tak ia inginkan dan harus berurusan dengan kejadian-kejadian di luar nalar.
Kisah mengenai indera keenam rupanya belum bosan untuk diangkat ke layar lebar. Masih segar dalam ingatan kita tentang Danur: I Can See Ghost yang juga rilis awal tahun ini, mengangkat tema serupa. Walaupun tema filmnya tak lagi baru dan fresh, namun ada beberapa hal yang menarik dari bangunan plot filmnya. Film ini sudah intens membangun ketegangan di awal cerita. Salah satu adegan di rumah sakit ketika Alia pertama kali melihat sosok roh halus, setelah mata batinnya dibuka, menjadi adegan yang menegangkan dan membuat penonton semakin penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, setelah itu plot yang ditampilkan bergerak amat cepat dan hanya menampilkan teror tanpa lelah.
Aksi-aksi teror yang ditampilkan semata hanya mengagetkan dan menakut-nakuti penonton dengan sosok kengerian makhluk halus, tanpa mengolah suspense cerita. Jika plot di awal konsisten dengan membangun tempo yang pelan dan membangun misteri, rasa-rasanya akan lebih menarik untuk dinikmati. Banyak adegan menjadi kurang fokus karena informasi cerita yang disampaikan secara cepat dalam aksi-aksi itu pula. Tujuan jelas untuk menyampaikan pada penonton tentang hal-hal yang terkait dengan makhluk halus dan dunia lain, namun kadang terlampau teknis dan kurang pas momennya. Aksi yang cenderung brutal juga tak terhindarkan ketika adegan balas dendam sang hantu merasuki tubuh Alia.
Film ini mencoba melihat bagaimana kita sebagai orang awam memandang sosok makhluk halus sebagai sosok yang tak perlu ditakuti, namun mereka memiliki tujuan yang harus dipahami. Tentu saja ini bagi orang yang bisa merasakan atau bahkan bisa berkomunikasi dengan mereka. Pesan-pesan ini tak tersampaikan secara baik di kisahya, namun hanya sebatas penyampaian verbal semata. Rasanya banyak cara yang lebih elegan untuk menunjukkan pesan yang kuat kepada penonton, tanpa harus bersinggunggan secara fisik dengan teror yang bertubi-tubi.
Secara teknis film ini sudah mapan dengan setting rumah yang membatasi ruang cerita. Aspek suara berupa efek suara menjadi hal yang dominan untuk membangun atmosfer filmnya serta bertujuan menarik perhatian penonton. Para pemainnya pun berakting baik. Pencahayaan ruang yang cenderung gelap juga telah mendukung nuansa mistisnya. Walaupun beberapa adegan memiliki banyak kemiripan dengan film-film horor populer Hollywood, seperti The Exorcist dan Insidious. Film horor kini memang tengah menjadi primadona yang selalu diproduksi dan disambut hangat oleh pasar. Namun, orisinalitas dan nuansa mistik lokal patut digali dan dieksplor lagi lebih jauh untuk membuat film horor yang berkualitas dan mampu bersaing di kancah internasional.
WATCH TRAILER