The 3rd Eye (2017)

107 min|Drama, Fantasy, Horror|28 Sep 2018
5.1Rating: 5.1 / 10 from 1,661 usersMetascore: N/A
When her little sister claims she sees the dead, Alia consults a psychic, who opens her own eyes to the vengeful ghosts haunting their childhood home.

     Film horor ini disutradarai dan diproduseri oleh Rocky Soraya. Film ini bukan kali pertama sang sineas memproduksi genre serupa. Karyanya The Doll (2015) dan The Doll 2 (2016) telah menjadi salah satu film horor yang laris. Mengulang kesuksesan film-film ini, Mata Batin juga tak kalah kini telah meraih hampir 700 ribu penonton. Film ini sendiri berkisah tentang seorang anak bernama Abel (Bianca Hello) yang memiliki kemampuan untuk melihat sosok makluk halus, dengan mata batinnya. Kakaknya, Alia (Jessica Mila) yang menganggap adiknya berhalusinasi akhirnya memutuskan untuk dibuka mata batinnya oleh Bu Windu (Citra Prima). Tak disangka, setelah itu Alia melihat hal-hal yang tak ia inginkan dan harus berurusan dengan kejadian-kejadian di luar nalar.

     Kisah mengenai indera keenam rupanya belum bosan untuk diangkat ke layar lebar. Masih segar dalam ingatan kita tentang Danur: I Can See Ghost yang juga rilis awal tahun ini, mengangkat tema serupa. Walaupun tema filmnya tak lagi baru dan fresh, namun ada beberapa hal yang menarik dari bangunan plot filmnya. Film ini sudah intens membangun ketegangan di awal cerita. Salah satu adegan di rumah sakit ketika Alia pertama kali melihat sosok roh halus, setelah mata batinnya dibuka, menjadi adegan yang menegangkan dan membuat penonton semakin penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, setelah itu plot yang ditampilkan bergerak amat cepat dan hanya menampilkan teror tanpa lelah.

Baca Juga  Asih 2

     Aksi-aksi teror yang ditampilkan semata hanya mengagetkan dan menakut-nakuti penonton dengan sosok kengerian makhluk halus, tanpa mengolah suspense cerita. Jika plot di awal konsisten dengan membangun tempo yang pelan dan membangun misteri, rasa-rasanya akan lebih menarik untuk dinikmati. Banyak adegan menjadi kurang fokus karena informasi cerita yang disampaikan secara cepat dalam aksi-aksi itu pula. Tujuan jelas untuk menyampaikan pada penonton tentang hal-hal yang terkait dengan makhluk halus dan dunia lain, namun kadang terlampau teknis dan kurang pas momennya. Aksi yang cenderung brutal juga tak terhindarkan ketika adegan balas dendam sang hantu merasuki tubuh Alia.

     Film ini mencoba melihat bagaimana kita sebagai orang awam memandang sosok makhluk halus sebagai sosok yang tak perlu ditakuti, namun mereka memiliki tujuan yang harus dipahami. Tentu saja ini bagi orang yang bisa merasakan atau bahkan bisa berkomunikasi dengan mereka. Pesan-pesan ini tak tersampaikan secara baik di kisahya, namun hanya sebatas penyampaian verbal semata. Rasanya banyak cara yang lebih elegan untuk menunjukkan pesan yang kuat kepada penonton, tanpa harus bersinggunggan secara fisik dengan teror yang bertubi-tubi.

     Secara teknis film ini sudah mapan dengan setting rumah yang membatasi ruang cerita. Aspek suara berupa efek suara menjadi hal yang dominan untuk membangun atmosfer filmnya serta bertujuan menarik perhatian penonton. Para pemainnya pun berakting baik. Pencahayaan ruang yang cenderung gelap juga telah mendukung nuansa mistisnya. Walaupun beberapa adegan memiliki banyak kemiripan dengan film-film horor populer Hollywood, seperti The Exorcist dan Insidious. Film horor kini memang tengah menjadi primadona yang selalu diproduksi dan disambut hangat oleh pasar. Namun, orisinalitas dan nuansa mistik lokal patut digali dan dieksplor lagi lebih jauh untuk membuat film horor yang berkualitas dan mampu bersaing di kancah internasional.

WATCH TRAILER

https://www.youtube.com/watch?v=0g2C7kU-Vu0

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaBlade of the Immortal
Artikel BerikutnyaWonder
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.