3/
Orang ramai berpanjang-panjang berdiskusi soal Gundala sebagai film pembuka jagat sinema superhero Bumi Langit. Setelah Gundala, kita bakal menyaksikan film solo superhero lokal lainnya seperti Sri Asih, Godam, Aquanus, dan banyak lagi.
Sekarang memang eranya superhero berada di jagat yang sama. Tujuannya untuk mengikat penonton setia, menonton setiap rilisan film jagoan super di universe yang sama. Padahal juga, tradisi cross–over alias tokoh superhero A muncul di cerita superhero B telah dipraktekkan jagat komik kita pada 1970-an lampau.
Goenawan Mohamad mencatat hal itu dalam tulisannya tahun 1977. Katanya, superhero ciptaan Hasmi bisa muncul dalam kisah superhero ciptaan Ricky N.S. atau Johny Andreas. Maka, Gundala pada suatu ketika bisa muncul bersama Godam membantu Labah-labah Merah dalam suatu pertempuran. Tentu, kata Goenawan lagi, yang menggambar Godam di cerita superhero lain bukan Wid N.S, pengarang aslinya. Pun juga Gundala di cerita superhero lain tak digambar Hasmi. Goenawan menyimpulkan, para superhero itu, termasuk pengarangnya saling bersahabat, dan seorang superhero dari serial yang satu dapat dipinjam oleh pengarang superhero yang lain.[5]
Tidak ada perkara pelanggaran hak cipta atas praktek itu. Yang ada praktek saling bantu. Meminjam superhero lain yang lebih tenar sering dipakai untuk mengangkat “derajat” jagoan baru yang belum dikenal pembaca.[6] Well, zaman dulu hidup memang lebih sederhana.
Kini kebanyakan superhero lokal era lampau hak ciptanya berada di bawah bendera Bumi Langit. Menyatukan Gundala, Godam, Sri Asih, Tira, dan lain-lain dalam satu universe takkan menimbulkan perkara legal. Namun, sambil meniatkan bikin universe, yang mesti dicamkan film solo-nya harus asyik ditonton dahulu. Kalau tidak asyik dinikmati siapa yang mau nonton cerita lanjutannya?
Untungnya, Joko dan tim Bumi Langit Studios paham hal itu. Pengalaman dan pengetahuan Joko membuat film sejak bikin Janji Joni (2005) hingga Pengabdi Setan (2017) telah lebih dari cukup.
Gundala versi 2019 lebih membumi. Sang superhero terasa dekat dengan penonton karena sosoknya manusiawi. Bila di film tahun 1981 Sancaka digambarkan sebagai ilmuwan, di versi 2019 ia (dimainkan Abimana Aryasatya) tenaga security penerbitan koran yang juga teknisi, pandai membetulkan barang-barang, mulai dari lampu bohlam, mesin cetak, sampai headset.
Gundala versi 2019 membikin sendiri kostumnya dari tas, kacamata renang bekas, dan lilitan karet. Mengingatkan kita pada Spider-Man yang menjahit bajunya sendiri atau Batman versi Nolan yang memakai kostum dari modifikasi seragam militer.
Memang tak dijelaskan kenapa sejak kecil Sancaka diincar petir lalu punya kekuatan super dari petir. Mungkin bagian itu akan diceritakan di film lanjutannya atau film jagoan lain tapi dari universe yang sama. Namun, filmnya dengan baik menjelaskan motifasi Sancaka jadi superhero.
Saat kecil (dimainkan Muzakki Ramdhan) kita melihat ayahnya yang aktivis buruh tewas saat demo di pabrik. Ibunya pergi lalu tak kembali lagi. Ia jadi anak jalanan dan bertemu Awank (dimainkan Faris Fajar) bocah lebih tua yang mengajarinya bela diri.
Dari sini kita mulai diskusi perkara moralitas yang menyelubungi sejumlah karakter kunci dan pembantu di film Gundala versi 2019.
4/
Awank menemukan Sancaka ketika jadi bulan-bulanan anak-anak jalanan lain. Sancaka bilang, ia melawan mereka lantaran menggoda anak perempuan. Awank lantas berpesan, untuk menghindari masalah sebaiknya urus diri sendiri saja, jangan urus orang lain.
Pada satu ketika, Awank dan Sancaka berpisah. Awank menumpang kereta ke kota lain, Sancaka tertinggal kereta. Sebelum berpisah, Awank berpesan, salah satunya jangan percaya siapa pun.
Pesan itu dipegang teguh Sancaka hingga besar. Ia terus hidup sendirian dan tak pernah mencampuri urusan orang lain. Melihat ada tindak kejahatan di lorong, ia terus berjalan. Mendengar tetangga rumah susunnya disatroni preman, ia melengos.
Tapi lama-lama nuraninya berontak. Ia tak bisa berdiam diri melihat kezaliman terjadi di depan matanya. Preman-preman ia labrak yang membawanya pada konflik lebih luas dengan Pengkor, mafia kota yang mengendalikan politikus-politikus parlemen.
Sampai di sini, Joko tampak paham hakikat pekerjaan pahlawan super: membela keadilan dan menolong yang lemah. Begitu jadi superhero, sang pahlawan diharuskan melepas kepentingan pribadi. Kepentingan orang lain, para korban kezaliman yang harus diutamakan.
Kita lihat misalnya, Spider-Man harus mengorbankan sekolah/kuliah dan kehidupan cinta demi menjadi superhero. Begitu juga Tony Stark alias Iron Man. Sebelumnya ia ilmuwan cum milarder yang menikmati hidup, gila pesta, perempuan dan hanya peduli pada uang. Diculik teroris yang memakai senjata pabrikannya membuat ia sadar: senjata canggih yang bisa memusnahkan umat manusia tak boleh jatuh ke tangan yang salah.
Sedang pada sosok Gundala versi 2019, yang dikorbankan adalah pandangan hidup yang semula tertanam sejak kecil. Ia tumbuh dengan ketidakadilan yang merenggut nyawa ayahnya. Tapi tak lama, ia dibuat sadar membela orang lain malah berujung masalah. Ia lalu jadi pribadi apatis.
Namun nuraninya berkata lain. Membela hak orang lain telah tertanam dalam gennya, ditularkan ayahnya yang aktivis buruh. Ia lantas kembali ke jati dirinya sebagai penolong sesama. Sancaka alias Gundala lolos ujian moral sebagai superhero.
Sebagaimana cerita superhero Barat yang narasi muasalnya bisa ditarik ke mitologi Yunani, cerita superhero kita juga berakar pada narasi cerita pewayangan dan cerita rakyat yang sudah tumbuh ratusan tahun.
Para pahlawaan atau wirawan, selalu digambarkan sebagai manusia yang memiliki kemampuan dan kemahiran yang luar biasa. Ia juga orang terpilih. Di cerita wayang, misalnya, ada Khrishna, pembimbing Pandawa. Ia adalah penjelmaan Dewa Wisnu, yang memiliki kebijaksaan dan kekuatan mengagumkan.[7]
Selain itu, dalam wiracarita rakyat atau kisah kepahlawanan berdasar mitos cerita rakyat sang hero cenderung digambarkan sebagai figur Ratu Adil yang mampu menghancurkan dan membebaskan rakyat biasa dari belenggu kekuasaan.[8] Pantas saja film ini diberi tagline “Negeri Ini Butuh Patriot.”
Persoalan moral kedua melibatkan asal-usul Pengkor, musuh utama Gundala di film ini. Ia lahir dari keluarga berada. Ayahnya pemilik perkebunan. Suatu kali ayahnya didemo karyawan yang menuntut kenaikan upah dan pengurangan jam kerja. Sang ayah lalu difitnah membunuh salah satu karyawan. Rumahnya diamuk massa. Sang ayah dibunuh dan rumahnya dibakar. Pengkor kecil selamat meski cacat.
Pengkor lantas dimasukan ke panti asuhan yang pengelolanya terkenal kejam pada anak-anak panti. Bukan hal langka anak-anak di panti itu tewas karena disiksa. Di panti itu Pengkor malah menyusun pemberontakan. Pengelola panti dibunuh. Ia diangkat sebagai ketua anak-anak panti asuhan.
Menyimak latar belakang hidup Sancaka dan Pengkor kita mendapat cukup alasan atas tindakan masing-masing. Sancaka, misalnya, kita maklumi bila di awal tak mau menolong orang-orang yang jadi korban kejahatan. Atau Pengkor tak selamanya juga kita anggap penjahat. Sebab, ia menolong orang-orang yang bernasib tak beruntung di panti asuhan. Walau pada gilirannya ia menuntut kesetiaan mereka untuk menjadi tentaranya yang sewaktu-waktu bisa ditelepon, ia telah menolong mereka sebelumnya. Itu sebabnya ia dituakan. Di alamat panggilan telepon ia disebut “Bapak”. Sebab, bagi tentara-tentaranya ia adalah sosok bapak.
Persoalan moral ketiga lebih kompleks. Menyangkut apa yang dibilang serum anti moral. Dikatakan, beras yang dijual sudah disuntik serum anti-moral. Perempuan hamil yang mengkonsumsi beras itu akan melahirkan anak-anak tanpa moral. Kontan saja anggota dewan dan pemerintah didemo rakyat. Kemudian kerusuhan juga terjadi di mana-mana sebagai buntut dari demo itu.
Di luar gegap gempita demo dan lain-lain, ada adegan anggota dewan berdiskusi perkara moral soal serum itu. Diskusinya menarik lantaran menyangkut makna moralitas. Apakah moralitas? Apakah tanpa-moral berarti menjadi pelaku LGBT? Apakah yang membela hak kaum minoritas dan LGBT juga dianggap tak punya moral? Apakah pelaku korupsi punya moral? Bila punya, kenapa tetap korupsi?
Pertanyaan-pertanyaan itu patut direnungkan. Akhirnya diputuskan anggota dewan meminta pemerintah memberi serum penangkal yang disuntikan pada ibu-ibu hamil. Tujuannya satu, menyelamatkan satu generasi masa depan. Negara tak boleh berdiam anak-anak terlahir tanpa moral, walaupun yang memutuskan pemberian serum penangkal tak 100 persen bersih moralnya.
Tentu ada plot twist-nya. Tidak pernah ada yang namanya serum anti-moral. Dan yang dimaksud serum penangkal sebenarnya serum jahat yang bisa membuat janin cacat. Otak semua kejahatan ini adalah Pengkor. Ia ingin menyaksikan anak-anak yang terlahir cacat hidup dengan penderitaan sebagai orang cacat seperti dirinya.
Di sini Gundala, serta sedikit bantuan Sri Asih, berusaha mencegah malapetaka tersebut.