PERINGATAN: Tulisan ini panjang dan mengandung spoiler atau bocoran cerita tentang film Gundala (2019) karya Joko Anwar.

1/

Juli 2008 saya menulis artikel untuk situs Rumah Film, situs film yang sudah almarhum yang dikelola kritikus Eric Sasono dan kawan-kawan, dengan judul yang gagah: “Mengapa Kita Tak Lagi Membuat Film Superhero?”[1]

Tulisan itu saya buat ketika ramai di forum film orang membicarakan sebuah situs bernama gundalathemovie.com. Isi situsnya cuma poster film bergambar sang superhero Gundala berpakaian ketat hitam seperti di komiknya, lengkap dengan latar belakang gedung pencakar langit Jakarta.

Di penutup tulisan saya mengutip surat pembaca di majalah Cinemags edisi Juli 2008 yang menjawab, kabar soal film itu diragukan kebenarannya. Nama-nama yang disebutkan di poster tidak dikenal dan sosoknya tak ada. Saya lalu menyimpulkan, situs dan poster itu buatan fans yang berharap kita punya film superhero lokal yang tak kalah dari Hollywood.

Siapa sangka butuh 11 tahun angan-angan itu jadi nyata. Akhir Agustus ini kita menyaksikan jagoan super karya Harya Suraminata atau Hasmi (1946-2016) itu diangkat ke layar lebar oleh Joko Anwar.

Sebetulnya, kita lebih dulu serius membuat film superhero daripada Hollywood. Termasuk isu gender di film superhero kita lebih maju. Bila Hollywood baru serius bikin film superhero perempuan jagoan lewat Wonder Woman tahun 2017 lalu, kita sudah bikin duluan jauh sebelumnya. Saat baru merdeka penuh, di era Usmar Ismail dan kawan-kawan, kita memfilmkan Sri Asih tahun 1954, superhero perempuan yang diangkat dari komik karya RA Kosasih.

Kita juga bikin Rama Superman Indonesia pada 1974 atau empat tahun sebelum Richard Donner membikin Superman: The Movie (1978) yang dibintangi Christopher Reeve. Lalu, Gundala sendiri pernah difilmkan pada 1981 oleh Lilik Sudijo. Tahun sebelumnya, sutradara yang sama  membuat Darna Ajaib yang berkisah tentang anak ajaib berkekuatan super.

Pada Juli 2008 saya bertanya kenapa kita tak lagi membuat film superhero seperti tahun 1970-an dan awal 1980-an. Jawabannya, iklim perfilman kita di dekade 1970-an dan 1980-an memungkinkan lahirnya film macam begitu. Rama Superman Indonesia lahir pasca-SK71[2] yang melahirkan banyak sineas dadakan dan bikin film asal jadi.

Sedangkan Darna Ajaib dan Gundala lahir saat booming komik superhero lokal sejak 1970-an. Goenawan Mohamad mencatat booming komik genre ini dan menuliskannya dalam sebuah esai panjang untuk majalah Prisma tahun 1977 yang dikatakannya menggantikan tren komik silat.[3]

Waktu itu pula imbas peraturan Menteri Penerangan Mashuri masih terasa. Beliau mengeluarkan SK-Menpen[4] yang mewajibkan importir film memproduseri film nasional bila ingin memasukkan film dari luar negeri. Kebijakan ini kembali melahirkan film asal jadi dan produser dadakan. Baik Gundala dan Darna Ajaib tak tercatat sebagai film baik.

Pada 2008 ketika hoax film Gundala lahir, Hollywood mulai era baru masa keemasan film superhero. Di tahun itu lahir The Dark Knight, film Batman kedua yang dibikin Christopher Nolan. Film tersebut mencatatkan diri sebagai tonggak baru di genrenya sebagai film superhero mainstream yang layak masuk Oscar. Kemudian di tahun itu pula, Iron Man pertama rilis mengawali apa yang akan kita sebut MCU (Marvel Cinematic Universe).

Baca Juga  White Building : Potret Keruntuhan

Hollywood sukses besar membuat film superhero, maka saya bertanya-tanya kenapa kita tak tergoda bikin film superhero lokal?

Kesimpulan saya kala itu, kita belum cukup modal bikin film superhero sekelas Hollywood. Yang kita buat tahun 1970-an dan awal 1980-an tak lebih tipuan kamera biasa. Bila ingin memberi pengalaman sinematik seperti Hollywood harus berani merogoh kocek teramat dalam. Produser kita tak punya kocek USD 100 juta untuk bikin film dengan efek visual yang wah.

2/

Yang tak terpikir oleh saya pada 2008 silam adalah perkara uang (baca: bujet) bisa disiasati.

Selepas 2008 sineas kita melakukan berbagai percobaan membuat film yang niatnya mengandalkan efek khusus demi menyaingi Hollywood. Sineas kita membuat Garuda Superhero pada 2018 lalu. Tapi efek khususnya amburadul, jauh dari yang dibikin Hollywood.

Selepas Marvel Studios saban tahun merilis 1-3 film di jagat sinemanya, referensi penonton kita mau tak mau berkiblat ke sana. Bila efek visual tak sememanjakan mata seperti bikinan produser Marvel, Kevin Feige, penonton emoh nonton.  Tentu saja, bila yang ingin dikejar adalah kualitas efek visual takkan berhasil.

Yang kerap kita keliru pahami dari film-film superhero Marvel, kita sering terkecoh mengira jualan utama mereka adalah efek khusus canggih. Padahal yang utama bukan itu, melainkan cerita.

Bila efek visual oke tapi cerita kacau, buat apa? Bukankah itu yang terjadi pada tiga prekuel Star Wars bikinan George Lucas (episode I-III, 1999-2006) sampai-sampai dilanjutkan dengan pendekatan baru dengan cerita yang lebih menyegarkan oleh JJ Abrams lewat Star Wars: The Force Awakens (2015)?

Ramuan sukses film superhero Hollywood di masa keemasannya kini yaitu superhero juga manusia. Mereka punya emosi, harapan, cinta, serta bisa frustasi pada satu titik, tak melulu digambarkan punya kekuatan super. Spider-Man versi Sam Raimi di awal 2000-an adalah mahasiswa yang dibelit urusan cinta, diselimuti dendam pada pembunuh sang paman, hingga sahabat dan ayah sahabatnya jadi musuhnya. Sedangkan Tony Stark sang Iron Man sepanjang hayat menyimpan kerinduan pada sosok ayah.

Bila sineas film superhero kita jeli mengambil pelajaran tersebut dari Hollywood, kita mungkin punya film superhero yang dari dulu, meskipun efek khususnya tipuan kamera sederhana.

Beruntung kini sineas kita sudah paham formulanya. Dan Gundala bikinan Joko Anwar contoh jelas untuk itu.

Sadar tak mungkin mengimbangi kualitas efek khusus film bikinan Marvel atau DC, Joko fokus pada cerita. Ia memilih pendekatan realis untuk film superhero yang mengawali jagat sinema Bumi Langit.

Bila kita ingat, Batman rasa Nolan juga pakai pendekatan senada. Tonton lagi trilogi The Dark Knight dan Anda bisa andaikan filmnya bukan semata kisah superhero, tapi tentang manusia-manusia berkostum.

Pun juga film-film solo Captain America rilisan Marvel Studios. Yang pertama (The First Avenger, 2011) bisa dimaknai sebagai film Perang Dunia II, sedangkan yang kedua (The Winter Soldier, 2014) mengadopsi adegan kelahi ala The Raid dan action realistis.

1
2
3
Artikel SebelumnyaKritik Film: Kriteria dan Penilaian
Artikel BerikutnyaIt Chapter Two
Kontributor Montasefilm.com, bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Seandainya Saya Kritikus Film” (Homerian Pustaka, Yogyakarta), rilis 2009.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.