Kapankah terakhir kamu punya buku catatan kecil yang diisi berdasarkan kejadian atau peristiwa penting harian? Eksistensi buku harian tampaknya memang bernilai sangat penting sampai-sampai dikisahkan melalui skenario yang digarap oleh Alim Sudio (penulis Twivortiare, Makmum, dan Ayat-Ayat Cinta 2) dalam film arahan Angling Sagaran dengan judul Buku Harianku. Film bergenre drama musikal keluarga produksi Blue Sheep dan Bros Pictures ini dibintangi oleh Slamet Rahardjo, Dwi Sasono, Widi Mulia, Gary M. Iskak, Ence Bagus, serta dua aktris cilik pendatang baru, yakni Kila Putri Alam dan Widuri Sasono. Lantas, kira-kira akan seperti apa sang sutradara mengarahkan cerita tentang buku harian dari naskah sang penulis, ke dalam film yang diisi oleh nama-nama pemain senior ini?

Kila (Kila Putri Alam) merupakan anak perempuan semata wayang Riska (Widi Mulia), ibu single parent yang selalu disibukkan oleh pekerjaannya sebagai manajer bank usai ditinggal Arya Winoyo (Dwi Sasono), suami yang gugur saat bertugas sebagai anggota TNI. Sebagai anak tunggal yang tinggal di kota, Kila pun tak luput dari perilaku “dimanjakan”. Namun di sisi lain, kesibukan ibunya terhadap pekerjaan telah menguras lebih banyak waktu daripada keintiman hubungan ibu-anak. Walhasil, ia pun tak terbiasa dengan perlakuan disiplin kakeknya, Kakek Prapto (Slamet Rahardjo), yang seorang purnawirawan jenderal TNI saat tinggal bersamanya di desa. Meski seiring berjalannya waktu, pertemuan dengan teman lama dan anak-anak setempat, mengubah cara pandangnya terhadap kehidupan dan sikapnya kepada orang lain.

Sebenarnya hampir tak ada hal-hal baru yang bisa dijumpai dalam Buku Harianku, kecuali topik alzheimer dan pembelajaran bahasa isyarat sebagai solusi kelancaran berkomunikasi dengan seorang bisu. Bila dilihat dari segi pengambilan gambar pun tidak ada karena toh visual-visual indah khas dataran tinggi telah kerapkali malang-melintang sebagai tawaran dari kisah-kisah drama keluarga ber-setting pedesaan atau perbukitan. Mengenai artistik pun 11-12 dengan memperlihatkan segala yang sudah umum ada, baik rumah seisinya maupun kelengkapan di lokasi lain yang menjadi bagian dalam cerita. Unsur-unsur lain yang termasuk bagian dalam aspek sinematik sama saja.

Hanya ada kualitas akting ciamik dari para aktor dan aktris kawakan, seperti Slamet Raharjo, Dwi Sasono, Widi, PAK KELIK, serta konten musikal yang membuat film ini jadi lebih menarik. Bahkan dua unsur ini (ditambah aspek naratifnya) seperti memang dipersiapkan dengan baik agar benar-benar spesifik dan mengerucut hanya untuk segmentasi keluarga dan anak-anak. Kalau saja sineas Buku Harianku dengan sembrono memilih para pemain pendatang baru yang kemampuan aktingnya buruk, sudah pasti penilaian terhadap filmnya akan merosot tajam. Sebab bagaimanapun, kekuatan film ini selain pada aspek musikal adalah pada kualitas akting para tokohnya.

Baca Juga  Perburuan

Beberapa bagian dalam ceritanya sendiri telah umum dijumpai, baik setting, momen, maupun alur penceritaan. Seperti penggunaan hutan, momen tersesat, latar perkebunan di dataran tinggi, rumah kakek dan peternakannya, relasi anak perempuan dan ibu single parent ekstra sibuk, kesulitan ekonomi, tokoh kakek yang pemberani dan inspiratif, hingga liburan di lingkungan baru yang dapat mengubah cara pandang dan sikap tokoh utama. Kendati demikian –sesuai segmentasi filmnya—Buku Harianku tetap menyuguhkan kehangatan cerita khas suasana kekeluargaan serta dominasi musikalitas dan persahabatan khas anak-anak. Selama menonton film ini bahkan barangkali hingga usai, keseluruhan kisahnya pun dapat mengingatkan kembali pada kehadiran Petualangan Sherina, Susah Sinyal, hingga Keluarga Cemara.

Pembangunan karakter para tokohnya pun terbilang sederhana untuk dibaca, kapan akan ada perubahan dari buruk ke baik, judes atau ketus ke ramah, saling tak acuh ke peduli satu sama lain. Terutama untuk tokoh utamanya, pertemuan-pertemuan dan pengalaman pribadi di tempat liburan adalah metode yang khas untuk ‘mengotak-atik’ cara anak-anak memperlakukan orang lain, baik seusia maupun lebih tua, sedarah ataupun tidak. Namun di sisi lain, justru kesederhanaan karakterisasi dan kelaziman alurlah yang menyebabkan Buku Harianku begitu mudah dibaca dan ditebak. Toh, dari awal inti cerita yang ditawarkan oleh film ini adalah kehangatan keluarga dan ketulusan persahabatan anak-anak.

Kendati Buku Harianku merupakan film anak-anak, konten drama keluarganya takkan melepaskan penonton untuk menitikkan air mata. Meski sering memperdengarkan banyak lagu dalam adegan di meja makan sekalipun, film ini tetap menunjukkan sensasi drama tersendiri. Memang tampaknya seperti mencampur-adukkan problematika orang-orang dewasa dengan dunia anak-anak, seolah anak diharuskan mengalah dan memaklumi kondisi para orang dewasa, padahal anak-anak pun punya permasalahan dan kebutuhan mereka sendiri. Namun, nyatanya persoalan orang-orang dewasa dan perjalanan anak-anak justru diberikan benang merah dalam film ini, hingga menutup kisah keduanya dengan gembira.

PENILAIAN KAMI
Overall
65 %
Artikel SebelumnyaFatman
Artikel BerikutnyaFreaky
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

4 TANGGAPAN

  1. Hello Kak Miftachul & Montase Film,
    Terima kasih sudah mereview film Buku Harianku. Semua saran & masukkannya membuat kami semangat untuk membuat karya berikutnya.
    Salam,
    Silvia Yunita
    Produser

  2. Terima kasih atas reviewnya. Sekedar informasi, film Buku Harianku, dengan berat hati dan dengan berbagai pertimbangan, sengaja kami minta hentikan penayangannya di bioskop karena situasi yg tidak menentu saat itu.

    Bobby “BossA”
    (Produser)

    • Terima kasih kembali Kak Bobby atas informasinya. Setahu saya film ini juga sudah tayang di beberapa platform digital berbayar. Jadi masih bisa menontonnya walau sudah tidak ada di bioskop.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.