Lagi, aktor gaek, Liam Neeson beraksi. Kali ini berkolaborasi bersama sineas kawakan Martin Campbell dan aktor Guy Pearce. Memory adalah film aksi thriller yang diadaptasi dari novel De Zaak Alzheimer serta pula remake dari film produksi Belanda The Alzheimer Case (2003). Selain dua bintang di atas, bermain pula Monica Belluci, Harold Torres, Taj Atwal, dan Ray Stevenson. Dengan sineas sekaliber Campbel (Casino Royale & Golden Eye) dan bintang-bintang di atas, Memory sepertinya menjanjikan tontonan yang menarik.

Alex Lewis (Neeson) adalah seorang pembunuh bayaran yang menderita gejala Alzheimer. Walau ia meminta pensiun, namun ia dipaksa melakukan satu misi lagi, yang ternyata membunuh seorang gadis cilik. Alex menolak, namun sang gadis pun tetap tewas, dan ia kini justru menjadi buron FBI dan polisi lokal. Alex dengan penyakit yang ia derita dan sisa tenaganya mencoba menghabisi semua orang yang bertanggung jawab atas kematian sang gadis, yang ternyata terkait dengan satu jaringan besar human traficking dengan seorang miliuner di belakangnya. Agen Vincet Serra (Pearce) dan timnya yang melihat adanya kejanggalan dalam kasus ini adalah satu-satunya yang bisa membantu Alex.

Dari sisi cerita, film ini sama sekali tak buruk. Walau banyak kebingungan di awal, namun berjalannya cerita, satu persatu misteri pun terkuak. Untuk penikmat film sejati, rasanya tak sulit menebak arah plotnya. Satu hal yang menarik di sini adalah kasting Liam Neeson yang tak biasanya kita lihat dalam film-filmnya. Neeson bukan satu-satunya protagonis utama dan ia berbagi porsi screen time dengan sosok Agen Vincent. Ada satu dua hal lagi yang rasanya spoiler jika diungkap di sini. Anggap saja begini, naskahnya jauh dari bermain aman. Poin ini yang membedakan Memory dengan film-film Neeson lainnya. Hanya saja, untuk faktor alzheimer-nya, saya tak menemukan sebagai selipan yang berarti, selain hanya keberadaan lokasi flashdisk yang disembunyikan Alex.

Baca Juga  Squid Game

Sentuhan Martin Campbell begitu terasa sekali dari sajian thriller-nya. Pengadeganan aksinya, banyak memiliki kemiripan dengan dua film sebelumnya, The Foreigner (2017) dan The Protégé (2012). Walau tak seheboh dua film ini karena faktor usia sang aktor, namun sisi ketegangan tetap terlihat intens. Twist-twist kecil juga sedikit memberi gigitan pada plotnya, khususnya menjelang klimaks. Guy Pearce dan beberapa kasting dibelakangnya juga bermain baik, walau terasa kejutan, karena Pearce dalam situasi plot macam ini lazimnya bermain sebagai antagonis.

Memory mencoba mengkasting sang aktor dengan cara yang berbeda dari tipikalnya, dengan sentuhan sang sineas kawakan dan dukungan kasting lainnya, hasilnya sama sekali tidak buruk. Sineas papan atas sekali pun rasanya masih sulit untuk mengangkat pamor sang aktor yang kini semakin uzur. Sebagai fans sang aktor, Neeson sepertinya harus melepas peran tipikalnya ini dengan peran yang lebih sesuai untuk fisik dan umurnya, atau bahkan mungkin melepas karirnya di film. You’ve done enough mate.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaSrimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama
Artikel BerikutnyaEverything Everywhere All at Once
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.