Konsep multiverse yang kini lagi tren, muncul kembali dalam film sci-fi fantasi Everything Everywhere All at Once dengan cara, gaya, dan konsep yang teramat berkelas. Digawangi oleh Dan Kwan and Daniel Scheinert atau dikenal sebagai The Daniels yang kita kenal mengarahkan film drama absurd Swiss Army Man (2016). Naskahnya konon sudah digali sang duo sineas sejak tahun 2010 jauh sebelum konsep multiverse menjadi populer di medium film. Film ini dibintangi Michelle Yeoh, Stephanie Hsu, Ke Huy Quan, James Hong, dan Jamie Lee Curtis. Seberapa briliankah film berbujet USD 25 juta ini?
Evelyn Wang (Yeoh) adalah seorang pebisnis loundry yang dikelolanya bersama sang suami, Waymond (Huy Quan). Pada satu momen, semua masalah datang bersamaan. Usaha laundry-nya diaudit oleh kantor pajak (IRS); sang suami ingin menceraikannya; sang ayah (Hong) yang keras baru datang dari kampung halamannya; lalu sang putri butuh pengakuan sang ibu terhadap pacar perempuannya, Becky. Dalam situasi kacau, mendadak Evelyn didatangi versi lain dari Waymond yang mengaku dari semesta (timeline) yang berbeda. Ia butuh bantuan dari Evelyn jika semua semesta di ambang kehancuran oleh sosok jahat bernama Jobu Tupaki. Evelyn pun menampik semua kekonyolan ini, tidak hingga ia melihat versi dirinya pada semesta yang berbeda.
Speechless menonton film ini dengan segala keindahan dan kebijaksanaannya. Dengan segala bentuk absurditasnya, film ini mampu menyisipkan sekaligus mengeksplorasi tema-tema berat, macam ekstensialisme, nihilisme, kebebasan berkehendak, keseimbangan semesta, hingga “cinta” dengan cara yang segar dan brilian. Hebatnya, semua ini disajikan hanya untuk menyampaikan pesannya yang teramat sederhana. Banyak film menyajikan tema-tema ini secara terpisah dengan cara brilian, namun belum ada yang mampu menekel semua tema di atas sekaligus, all at once, dalam satu kisah cerita. Konsep multiverse untuk pertama kalinya digunakan secara jenius menjadi pondasi dasar utama kisahnya. Film-film superhero yang menggunakan konsep multiverse sebelumnya, terlihat bagai film bocah.
Tidak hanya konsep cerita yang brilian, namun begitu pula pendekatan estetiknya. Di luar performa kastingnya yang luar biasa, editing menjadi teknik yang paling dominan mendukung kisahnya. Dari editing cepat, ritmik editing, serta crosscutting menjadi teknik dominan untuk menyajikan gagasan multiverse-nya. Bagi penonton yang belum terbiasa dengan konsep ini, bisa jadi amat membingungkan karena potongan gambar (adegan) yang nyaris selalu berpindah-pindah (atau sisipan gambar) dalam sepanjang filmnya. Duo sineas, The Daniels, dengan gayanya, tahu betul bagaimana mengemas detil adegannya, dari momen ke momen. Selipan humor yang sering kali digunakan tidak hanya sekadar memicu tawa namun juga makna. Coba simak adegan, “Now. I’m trying to fight with your (Waymond) way“. Bicara soal puluhan tribute filmnya, tak ada satu pun yang lepas dari konteks.
Melalui naskah yang amat brilian, Everything Everywhere All at Once menyajikan eksplorasi segar konsep multiverse melalui drama, humor, aksi, imajinasi, pendekatan estetik dengan kedalaman tema yang rasanya belum disentuh film mana pun. Untuk membahas film ini secara utuh jelas tidak cukup hanya dengan satu dua lembar ulasan. Film ini adalah satu contoh sempurna bagaimana seni film bekerja dengan sangat baik mendukung narasinya. Banyak sekali pengadeganan, dialog, imajinasi yang baru kali ada dalam medium ini. Film ini tidak pernah mencoba menjadi bijak, namun justru mempertanyakan balik konsep-konsep di atas dengan lugas. Pada akhirnya “nothing matters” yang ini tak bisa diungkap dengan kata-kata, tetapi adalah bagaimana kamu menerima ini semua dengan kelapangan jiwamu. Tak perlu lagi ada pertanyaan karena kamu tidak lagi perlu jawaban. Jika hidupmu adalah versi yang terburuk, maka kamu adalah yang paling mampu memahami bagaimana semesta bekerja.
Jika film ini tidak diapresiasi tinggi dalam ajang festival film bergengsi, tidak tahu lagi saya harus komentar apa. Everything Everywhere adalah salah satu film terbaik yang pernah ada sejak medium film eksis. Dari mana duo sineasnya mendapat ilham kisah kelewat edan macam ini?
Mantap si ulasannya. Dari segi kostum juga kerena parah. Film yang bener bener perlu diapresiasi, dan bener si film Dr Strange yang ngangkat tema multiuniverse bener bener gak ada apa apanya dibanding film ini. So I’m totally agree when you said “Superhero kaya bocah dibanding film ini”
Jokesnya parah kena banget. But orang yang emang gak biasa sama multi universe akan bilang “film GJ” tpi kalo bener bener paham esesnsi film ini bakal bilang “It’s F*cking genius”
Pada tahun yang sama dengan rilisnya Dr. Strange 2, dan di tengah maraknya tema-tema multiverse dari film-film pahlawan super, film ini muncul dengan keistimewaannya, bukan…?