Setelah mendapat suguhan dari empat film Warkop DKI Reborn, dua film Benyamin Biang Kerok, kini giliran Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama menghadirkan komedinya dalam film. Satu dari sekian banyak kelompok pelawak legendaris Indonesia ini dikisahkan melalui arahan Fajar Nugros, yang juga menulis sendiri skenarionya. Film ini diproduksi oleh MNC Pictures, yang jarang memproduksi film-film bagus, serta IDN Pictures, yang tampaknya ada hanya untuk film ini dan beberapa produk sampingannya. Para pemeran yang menjadi sosok-sosok anggota Srimulat adalah Bione Subiantoro, Rukman Rosadi, T. Rifnu Wikana, Ibnu Jamil, Dimas Anggara, Erick Estrada, Elang El Gibran, dan Zulfa Maharani. Akankah berakhir sama seperti Warkop DKI Reborn maupun Benyamin Biang Kerok yang sekadar nostalgia semata?

Grup lawak daerah asal Solo bernama Srimulat sangat terkenal ke hampir sepenjuru Indonesia pada sekitar tahun 1980-an. Bersama pendirinya, Teguh (Rukman), grup ini mendapat kesempatan untuk tampil di depan presiden. Asmuni (Rifnu), Tarzan (Ibnu Jamil), Timbul (Dimas), Kabul (Erick), Basuki (Gibran), dan Nunung (Zulfa) terpilih untuk berangkat ke ibu kota. Teguh lantas menambahkan Gepeng (Bione) untuk berada dalam bimbingan Asmuni selama di Jakarta. Seorang baru yang muncul berkat celetukan-celetukannya ke para pementas dari bawah panggung. Meski mulanya, aksi sanggahan yang kerap memotong pertunjukan tersebut mendapat “tamparan” dari ayahnya. Selama di Jakarta itulah, mereka mencari sisi menarik untuk menjadi identitas masing-masing dalam melawak di panggung Srimulat.

Terlihat sekali Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama kesulitan untuk menangani masalah keterbatasannya dalam memenuhi beragam aspek agar sesuai dengan latar waktunya. Terutama perkara properti dan set. Tak ada banyak variasi set yang bisa ditampilkan pada akhirnya. Beberapa properti pun justru muncul hanya untuk “menegaskan” latar waktu film ini. Tak ada korelasi dan motif yang kuat, mengapa properti tersebut harus mendapat porsi khusus saat kemunculannya. Bahkan set yang pada akhirnya muncul di penampilan utama Srimulat di ibu kota malah berbeda dengan set yang sebelumnya ditunjukkan.

Ihwal keterbatasan bahan ini pun menyerang bagian stok gambar, dan salah satu yang paling kentara adalah footage atau rekaman ibu kota pada tahun 1980-an. Sangat jelas film ini kekurangan bahan untuk menciptakan pemandangan-pemandangan beberapa daerah pada masa lampau. Tidak hanya ibu kota saja, Solo yang menjadi tempat asal Srimulat pun mengalami nasib serupa. Bahkan dalam kasus rekaman ibu kota, hanya ada “satu stok” untuk ditampilkan “dua kali”. Kemunculan dua kali itu pun dengan kualitas yang rendah. Jika kita berbicara tentang momentum bersejarah, tak jadi soal untuk menampilkan rekaman aslinya. Namun bila sekadar bagaimana ibu kota dengan lalu lintas dan beberapa gedungnya terlihat pada tahun itu, untuk apa?

Baca Juga  My Stupid Boss

Kendati dengan beberapa elemen buruk dan kelemahan yang sedemikian disayangkannya, Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama tetap terbilang baik dalam menghadirkan komedinya. Komedi-komedi yang sangat khas dan kental sekali bernuansa Srimulat tentu saja. Ya, komedi yang bahkan masih kerap kita saksikan di sejumlah acara lawak hingga hari ini. Sayangnya, lawakan-lawakan yang muncul tersebar kelewat banyak hingga nyaris ke seluruh adegan di sepanjang film. Alhasil, ada beberapa kali adegan yang dimaksudkan supaya menjadi lawakan, justru terasa hambar. Atau setidaknya menyunggingkan senyum belaka.

Akting dari para pemerannya pun cukup berhasil menampilkan karakter masing-masing. Meski, memang tak jarang ada yang berlebihan dan malah cenderung terlalu ekspresif. Barangkali para kastingnya mendapatkan semacam pelatihan atau treatment khusus agar bisa mendalami peran masing-masing sebaik-baiknya. Termasuk soal dialog-dialog berbahasa Jawa. Bahkan hampir 100 % di sepanjang film mereka mesti menggunakan Bahasa Jawa. Walau masih ada beberapa kali pengucapan yang terdengar kurang nyaman. Permainan yang terbilang baik juga dari para aktor-aktris muda, Bione, Gibran, dan Zulfa di samping Rifnu, Rukman, dan Ibnu Jamil; lalu Dimas, Morgan, dan Erick. Seperti melihat aktor-aktris dari tiga generasi yang menyaru ke dalam peran masing-masing sebagai satu keluarga Srimulat.

Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama hadir dengan komedi khas Srimulat yang amat melekat di benak banyak penikmat lawakan masa kini. Jika bukan karena cerita yang mengangkat satu bagian kecil dari perjalanan Srimulat, film ini akan sama saja dengan keempat film Warkop DKI Reborn, serta kedua film Benyamin Biang Kerok. Membawa kembali kenangan dari masa lampau tentang komedi gaya lama. Meski tetap saja, elemen-elemen komedi yang dihadirkan tampaknya memang diniatkan untuk kebutuhan nostalgia. Menonton film ini juga agaknya perlu dibarengi dengan pengetahuan seputar Srimulat itu sendiri. Kendati Srimulat: Hil yang Mustahal – Babak Pertama cenderung terasa sebagai pertunjukan panggung, alih-alih sebuah sinema.

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaFirestarter
Artikel BerikutnyaMemory
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.