Mendadak Kaya merupakan sekuel film DOA (Doyok – Otoy – Ali Oncom): Cari Jodoh (2018) yang tayang setahun lalu. Film produksi MD Pictures ini juga masih disutradarai oleh sineas spesialis komedi, Anggy Umbara. Seperti kita ketahui bahwa seri film ini diadaptasi dari sebuah kartun karikatural di harian Pos Kota Jakarta yang terbit sejak tahun 1970-an. Ketiga karakternya, yakni Doyok, Otoy, dan Ali Oncom selalu diingat sebagai karakter yang khas dan menghibur melalui banyolannya yang kerap menyampaikan kritik sosial dan politik.

Film ini masih bercerita tentang tiga tokoh utamanya, yakni Doyok (Fedi Nuril), Otoy (Pandji Pragiwaksono), dan Ali Oncom (Dwi Sasono). Suatu ketika mereka tengah bercengkerama di warung Mang Ujang (Ence Bagus). Mereka saling mengungkapkan kegelisahannya karena terbentur masalah ekonomi. Otoy harus menafkahi keluarganya, namun tak memiliki uang karena ia pengangguran. Ali pun harus mencari uang sebanyak-banyaknya, untuk bisa menikahi gadis pujaan hatinya, Yuli. Sementara Doyok berhutang di warung Mang Ujang yang tak kunjung dibayar. Di saat mereka sibuk berdebat, Doyok tak sengaja melemparkan buku hutangnya ke kompor yang mengakibatkan warung Mang Ujang terbakar. Mau tidak mau, mereka harus mencari pekerjaan untuk melunasi hutangnya dan menyelesaikan masalahnya masing-masing.

Jika pada film perdananya, fokus kisahnya pada pencarian jodoh bagi Doyok, kali ini lebih mengarah pada bagaimana mereka mencari pekerjaan untuk mendapakan banyak uang. Ketiganya memiliki deadline yang harus segera mereka penuhi. Maka, adegan-adegannya dibangun melalui segmen demi segmen ketika mereka bekerja dari satu tempat ke tempat lain, seperti “Kerja cuci mobil”, “Kerja tipu-tipu”, dan yang terakhir “Kerja gak jelas di Lem Tikus”. Di tempat mereka bekerja pasti ada saja ulah dan tingkah mereka yang menimbulkan masalah sehingga membuat mereka harus berganti pekerjaan. Pola semacam ini tentu bukan hal baru, apalagi motivasi cerita yang dibangun juga sudah biasa.

Baca Juga  Siksa Kubur

Alur plotnya cenderung datar dan sulit bagi penonton untuk masuk dalam kisahnya. Penyebabnya adalah pengadeganan cerita yang kurang menarik untuk diikuti. Sisi komedi yang harusnya ditonjolkan, kali ini tak begitu kentara. Dalam film pertama, tiga tokoh utamanya mampu menjadi penggerak cerita dan memberikan bumbu komedi, namun kali ini ketiganya kurang bisa membangun sisi humornya. Banyak dialog yang dibangun terasa begitu garing dan kaku sehingga tak banyak penonton yang bisa tertawa lepas. Karakterisasi ketiganya yang terasa kurang, diperlemah pula dengan konflik yang juga tak jauh beda dari film pertamanya.

Tiga sosok karakter kartun harian Pos Kota yang kita kenal dengan guyonan kritisnya, belum terolah dengan baik dalam film sekuelnya ini. Kritik sosial yang kerap dilontarkan Doyok pun terasa masih berupa tempelan. Secara teknis pun masih terlihat beberapa kelemahan, contoh saja efek kebakaran warung Mang Ujang yang masih terlihat kasar. Dari aspek musik, musik tema film sebelumnya yang melekat pada karakter ketiganya, dengan lirik “…Doyok, Otoy, Ali Oncom…”, tak muncul pula dalam filmnya. Akting yang harusnya menjadi keunggulan mereka juga kini kurang begitu greget. Singkatnya, film sekuelnya ini secara umum tidak lebih baik dari film pertamanya.

PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaRumah Merah Putih
Artikel BerikutnyaToy Story 4
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.