Salah satu sineas terbaik Indonesia, Joko Anwar, pada masa lebaran ini merilis karya terbarunya yang sudah digaungkan sejak lama, yakni Siksa Kubur. Film ini dibintangi beberapa nama besar, sebut saja Reza Rahardian, Slamet Raharjo, Christine Hakim, Fachry Albar, Happy Salma, serta bermain sebagai tokoh utama, Faradina Mufti. Berbekal tema provokatif, nama besar sang sineas, dan para pemainnya, akankah Siksa Kubur mampu memenuhi ekspektasi?

Setelah peristiwa mengenaskan yang menimpa orang tua Sita dan Adil, mereka berdua tinggal di panti asuhan yang tak lama pun mereka kabur karena perlakuan tuan rumah. Sita (Mufti) kini menjadi seorang perawat di panti wreda, sementara Adil (Rahardian) bekerja sebagai pemandi jenazah. Selama ini, Sita terobesi dengan sebuah kaset berisi jeritan suara siksa kubur yang ia dapatkan dari pelaku bom bunuh diri yang membunuh kedua orang tuanya. Untuk membuktikan hal tersebut, Sita bersama jasad seorang pendosa, berbaring di liang kubur dengan membawa handy cam, dibantu oleh adil yang menjaga di atasnya. Tanpa ia sadari, ini membawanya ke sebuah peristiwa demi peristiwa absurd yang mengusik kewarasannya.

Naskah film ini diinspirasi dari film pendek bertitel Grave Torture (2012) karya sang sineas yang mengisahkan seorang anak yang tak sengaja menyaksikan ayahnya mendapat siksa kubur. Kisah pendek ini, kini diolah Joko Anwar yang juga menulis naskahnya dengan kisah lebih kompleks serta melibatkan banyak karakter. Anwar yang selama ini kita kenal melalui film-filmnya yang jauh dari solusi “religius” seperti seri Pengabdi Setan, kini justru semakin menantang melalui ide dan konsep yang lekat dengan agama Islam, yakni siksa kubur. Ini tentu menarik, melihat bagaimana strategi sang sineas memperlakukan tema ini, apakah masih menggunakan pendekatan “barat”nya yang selama ini kita lihat dalam film-filmnya.

Siksa Kubur berbeda dengan semua film horor yang pernah kita tonton. Film ini tidak hanya bertumpu pada tipikal jump scare pada film horor modern, namun memberikan efek kengerian melalui mitos yang melatarbelakangainya. Dalam Jaga Pocong atau The Vigil, sang tokoh harus menunggu jasad seseorang yang baru saja meninggal. Situasi ini tentu memberikan efek kengerian yang luar biasa, misal saja jika tubuh si mayat bergerak. Dalam Siksa Kubur, ketika Sita berbaring bersebelahan dengan jenazah di sebelahnya. Rasa takut kita jelas bukan pada jasad di sebelahnya, namun apa yang bakal terjadi selanjutnya. Ini adalah satu bentuk kengerian yang berbeda dan efeknya amat luar biasa bagi penonton. Siksa Kubur secara efektif memberikan teror dan rasa horor secara intens melalui cara ini sepanjang filmnya. Bisa dibayangkan, betapa tidak nyamannya menghadapi situasi semacam ini. Sepanjang filmnya, nyaris tidak ada penonton yang menjerit kaget seperti lazimnya karena ada kengerian yang lebih menakutkan dari sekadar jumpscare. Latar penonton yang memiliki sisi religius kuat membuat kisahnya mampu bekerja lebih maksimal. Ini yang membuat Siksa Kubur begitu brilian.

Baca Juga  Tujuh Bidadari

Sang sineas juga rupanya tidak merujuk penyelesaian kisahnya melalui unsur religius semata, namun memberi ruang dan opsi pilihan tersebut pada penonton. Dalam beberapa adegan, suara gumaman tak jelas sering kali digunakan, walau dalam satu adegan, lafal ayat-ayat dilantunkan, bahkan dengan selipan ukuran teks yang besar pula. Pendekatan gaya barat yang menjadi tradisinya juga digunakan, seperti ritual pemanggilan roh yang akrab dalam film-film horor barat. Sang sineas dengan elegan merangkum ini semua dengan memberi kita pilihan melalui sisi ambigu dalam kisahnya. Lalu, apakah siksa kubur itu ada? Sang sineas beberapa kali menjawabnya langsung melalui dialog-dialog “gamblang” dalam beberapa adegannya. Melalui penuturan dan kemasan cerita, sang sineas juga memberikan opsi secara sinematik. Apakah itu semua sungguh-sungguh terjadi, ataukah ini hanyalah ilusi atau imajinasi Sita belaka, ataukah Sita telah hilang kewarasannya? Momen-momen ending-nya memberikan banyak pernyataan yang pasti membuat penonton mengernyitkan dahi. Tentu tak bisa dijawab di sini karena bakal menganggu kenikmatan menonton. Ini bisa menjadi bahan diskusi lanjutan yang sangat menarik.

Satu lagi yang menjadi kekuatan Siksa Kubur tentu adalah penampilan para kastingnya. Entah mungkin saya yang luput, namun rasanya belum pernah menonton Reza Rahardian, Slamet Raharjo, hingga Christine Hakim bermain dalam film horor murni. Para pemain senior ini memberikan satu sentuhan yang berbeda yang tak pernah kita dapatkan dalam film-film horor kita lainnya. Penampilan Slamet Raharjo selalu mencuri perhatian dalam tiap adegannya. Siapa sangka, Christine Hakim bisa terlibat dalam satu adegan horor yang begitu mengerikan yang pernah dibuat sang sineas. Lalu Reza Rahardian lepas dari peran tipikalnya dengan bermain sebagai sosok Adil yang amat insecure dan traumatik, serta satu pengadeganan “petak umpet” tipikal adegan horor. Di atas semuanya, penampilan sangat mengesankan disajikan oleh Faradina Mufti. Ia bermain gemilang sebagai sosok Sita yang tampil dengan kepribadian kuat dan penuh percaya diri, namun sesungguhnya rapuh jiwanya. Sita adalah sosok sentral yang menyeimbangkan plotnya dengan karakter-karakter pendukung lainnya.

Melalui sentuhan sineas dan eksplorasi cerita dan genrenya, Siksa Kubur adalah sebuah pencapaian langka genre horor yang lebih dari sekadar film horor. Sineas masih mempertahankan elemen sinematik yang menjadi gayanya, seperti tone gambar, setting, sinematografi yang kuat, hingga musik lawas. Segmen klimaksnya yang heboh dan brutal adalah satu pencapaian estetik yang jarang kita lihat dalam film horor. Pengadeganan yang dibangun khususnya melalui aspek suara menjadi satu faktor pendukung yang membuat adegan ini begitu membekas dan mengerikan. Siksa Kubur bakal menjadi tantangan buat penonton awam, namun sebuah kejutan besar bagi para cinephile dan fans Joko Anwar. Sang sineas telah melewati semua karyanya dengan melahirkan satu karya terbaiknya yang rasanya bakal menjadi bahan perbincangan kelak. Menyenangkan melihat kenyataan bahwa film horor Indonesia kini bisa bersanding setara dengan film-film horor berkualitas tinggi di luar sana.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaBadarawuhi di Desa Penari
Artikel BerikutnyaMukidi
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

2 TANGGAPAN

  1. Entah mungkin saya yang luput, namun rasanya saya belum pernah membaca review film horor lokal dari bung Himawan. Ini pertama kalinya!

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.