nikah yuk!

Persoalan mengenai pernikahan usia muda, tuntutan orang tua, serta dilema mengejar karir diangkat oleh sutradara baru Adhe Dharmastriya dalam film berjudul Nikah Yuk!. Sebagaimana film-film dengan kesan ‘karya pribadi’ lain, sang sutradara pun turut andil menulis naskahnya bersama Andri Cahyadi (yang juga penulis baru) serta menempati posisi sebagai produser. Film pertama produksi Lens Cinema yang bergenre drama komedi ini diisi oleh nama-nama muda dengan gaung kualitas yang tak terlalu kuat dalam dunia film, antara lain Yuki Kato, Marcell Darwin, Aliyah Faizah, Ananta Rispo, Roy Marten, dan Ivanka Suwandi. Bersama seluruh posisi, peran, dan hal-hal lain yang masih baru, pertama, atau debutan, seperti apa film ini dalam menyampaikan ceritanya?

Tuntutan untuk segera menikah (nikah muda) dari orang tua menjadi polemik yang tak kunjung usai merongrong keseharian seorang fotografer bernama Arya (Marcell Darwin). Tindakan tersebut didasari lantaran pengalaman mereka sendiri yang baru bisa menikah di usia tua. Walhasil, bayang-bayang hal serupa akan berulang dan menimpa kembali melalui sang anak kemudian menjadi ketakutan terbesar mereka. Segala cara lalu ditempuh, demi mengarahkan Arya agar tidak menjumpai kegagalan, kesakitan, atau kesedihan dalam menggapai karir yang ia idam-idamkan, hingga Arya bertemu Lia (Yuki Kato), seorang komikus muda yang memiliki karakteristik berkebalikan sama sekali dengannya.

Alur cerita dalam Nikah Yuk menjadi menyenangkan untuk diikuti, lantaran kelucuan ringan dari tokoh dan situasinya. Namun, komedi situasi dan tingkah konyol seorang pemain komedi tidaklah berarti besar, tanpa membawakan kritik terhadap isu-isu tertentu –sebut saja film-film Warkop. Jikapun tanpa terlalu serius membawakan isu khusus, paling tidak segmen komedinya mampu lebih solid lagi –sebut saja Kapal Goyang Kapten, yang memiliki segmen komedi solid, walau segmen dramanya payah.

Berbicara segmen drama, Nikah Yuk pun tak dapat terlalu dibanggakan. Film ini bahkan jauh lebih mirip film komedi berbumbu drama, dibandingkan sebaliknya. Fakta ini tak dapat dipungkiri sebab film ini tak banyak memberikan ruang yang cukup terhadap segmen tersebut agar tercipta keseimbangan dengan sisi komedi. Hal ini tak lain dipengaruhi oleh plot twist ala-ala yang menggelitik, tingkah konyol para tokoh, serta komedi situasi yang bertebaran memenuhi film. Bukannya menjadikan Nikah Yuk layak dinikmati karena cerita maupun dramatiknya, tapi justru sekadar hiburan dengan kelucuan semata.

Baca Juga  Serigala Terakhir, Mau Bicara Soal Gaya

Lebih jauh lagi, wilayah akting tokoh-tokoh dalam Nikah Yuk juga berkaitan dengan bagaimana segmen komedi begitu mendominasi. Seluruh tokoh dalam film ini memiliki kecenderungan menempati wilayah komedi secara konsisten. Setiap kali momen drama “seharusnya” muncul, tidak pernah berhasil karena selalu dipatahkan oleh mereka. Tidak jadi masalah manakala ini berlangsung cukup di beberapa bagian yang memang perlu memunculkan komedi. Namun, menjadi aneh dan tak jelas ke mana arah jalan cerita film ini, ketika akting mereka justru memperluas wilayah ini. Seperti penjelasan di atas pula, tanpa isu kuat tertentu, dominasi komedi di sepanjang film tidak akan memberi dampak signifikan terhadap nilai dan pencapaian film tersebut, kecuali hanya sebatas “menghibur”.

Hal-hal lain berkaitan aspek sinematik, tidak ada cara-cara khusus untuk menyampaikan konsep tertentu maupun ingin mencapai pesan tertentu. Hanya sejumlah kecil upaya untuk mengesankan dominasi dan intimidasi dari peran dan keterlibatan orang tua Arya yang selalu mengusik dan mengendalikan kehidupan di sekitar putra mereka, melalui aspek sinematografi serta pemilihan salah satu lokasi. Nikah Yuk mengolah keinginan untuk menyampaikan maksud tersebut menggunakan sudut pengambilan gambar high-angle terhadap tokoh utama di beberapa lokasi, dan mengambil gambar dalam jarak-jarak yang jauh di sejumlah lokasi lain, tetap dengan Arya dan Lia di dalamnya. Film ini pun memilih ruangan yang cukup tinggi di sebuah gedung sebagai salah satu lokasi penting, tempat segala alasan langkah Arya untuk bertindak lebih jauh dimulai, dan semua konflik menemui satu titik sebagai tanda penyelesaian.

Nikah Yuk lebih cocok jika ditonton dengan niat hanya untuk mencari keseruan lewat hal-hal lucu yang dibangun oleh tingkah para tokoh serta komedi situasinya. Namun, tidak akan memuaskan bagi siapapun yang mencari sensasi intensitas dramatik film.

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaKemiripan Plot Contagion dengan Wabah Wuhan Coronavirus.
Artikel BerikutnyaFantasy Island
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.