Prey (2021) adalah film thriller produksi Jerman arahan Thomas Sieben. Film rilisan Netflix ini dibintangi beberapa bintang lokal, yakni David Kross, Hanno Koffler, serta Maria Ehrich. Pada masa pandemi dengan segala protokolnya, genre thriller rupanya memang menjadi favorit karena mampu menyajikan sisi ketegangan dalam ruang/setting maupun pemain yang terbatas. Prey menggunakan pula strategi produksi yang sama, apakah lantas mampu menjadi tontonan yang menarik?

Lima orang laki-laki, termasuk kakak beradik, Albert (Koffler) dan Roman (Kross) tengah merayakan pesta bujangan sang adik di wilayah hutan terpencil. Sesaat sebelum meninggalkan lokasi tersebut, mereka mendadak diteror oleh seorang pemburu misterius bersenjata api. Seorang dari mereka terluka, dan perburuan pun dimulai.

Dengan premis sederhana, film ini memulai kisahnya dengan baik serta mampu memancing hebat rasa penasaran penonton. Apa yang terjadi dan siapa yang meneror mereka? Sayangnya, dalam perkembangan, film ini tak mampu memberi sentuhan thriller yang menggigit. Beberapa momen, plotnya terasa membuang waktu dan ancaman pun seolah tak nyata bagi mereka dengan sikap yang (bagi saya) terlalu “santai” untuk situasi semacam ini. Beberapa aksi pun terasa janggal, contoh saja sudut ruang tembak si pemburu yang seolah tak mengenal arah. Berjalannya waktu, identitas sang pemburu pun terungkap. Cuplikan kilas-balik, Roman dan sang tunangan, ternyata memiliki relasi emosional dengan motif sang pemburu. Sayangnya, ini tak juga mampu membantu mengangkat filmnya.

Prey menyajikan thriller dengan premis menarik, sayangnya tanpa aksi dan resolusi yang menggigit. Potensi sisi ketegangan dan horor (sosok sang pemburu), serta atmosfir hutan sebenarnya cukup untuk mendukung kisahnya. Hanya saja, sineas kurang terampil memaksimalkan semua potensi ini. Relasi psikologis antara trauma Roman dan sang pemburu pun tidak tergali lebih dalam, baik secara cerita maupun pesannya. Dunia yang bagai hutan rimba dengan segala kegilaannya, mampu membuat seseorang hilang kewarasannya, namun rupanya tidak untuk Roman. Lantas, kisah ini untuk apa disajikan?

Baca Juga  Society of the Snow

https://www.youtube.com/watch?v=VcKYh8l9zlg

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaDon’t Breath 2
Artikel BerikutnyaMalignant
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.