River Wild adalah film “remake” modern dari The River Wild (1994) yang dibintangi Meryl Streep dan Kevin Bacon. River Wild digarap oleh Ben Ketai yang juga terlibat dalam penulisan naskahnya. Film ini dibintangi beberapa nama yang masih asing, seperti Leighton Meester, Taran Killam, dan Adam Brody. Film berdurasi 91 menit ini dirilis oleh platform Prime Video. Akankah film “remake” ini mampu melewati film aslinya?

Joey (Meester) adalah seorang dokter yang berniat berlibur bersama sang kakak, Gray (Killam) untuk melakukan wisata rafting bersama dua orang turis muda, Karissa dan Van. Rekan lama Gray, Trevor (Brody), yang masih dalam masa percobaan, rupanya turut bersama mereka. Perjalanan menyusuri sungai berjalan lancar, tidak hingga Van tergelincir dan kepalanya terbentur sewaktu mereka bermalam. Ada indikasi aksi kesengajaan di sana dan mereka mau tak mau kembali menyusuri sungai untuk mencari pertolongan. Rupanya Trevor tak mau berurusan dengan polisi dan mendadak segalanya berubah di luar kehendak mereka.

River Wild berbeda dengan cerita film aslinya yang diproduksi sekitar 30 tahun yang lalu. Saya ingat betul, bagaimana sisi drama dan keluarga terasa begitu kental. Kisah pun dimulai sejak satu keluarga bertemu dengan dua orang buronan. Walau berbeda, namun inti plotnya nyaris sama. Pembeda tentu adalah para pemain bintangnya, bahkan Streep dan Bacon dinominasikan sebagai aktris dan aktor terbaik dalam ajang Golden Globe Award kala itu. Dari sisi pemain dan level produksinya, film remake-nya secara kualitas jelas berada jauh di bawah, tak juga bisa dibilang buruk.

Plot River Wild mulai berjalan menarik sejak titik balik pertama kisahnya. Berbeda dengan film aslinya, sisi personal lebih dominan dalam plotnya karena sosok antagonis adalah orang yang mereka kenal sejak lama. Apa yang membuat penasaran tentu adalah bagaimana mereka bisa lepas dari situasi tersebut? Momen ini terjaga konsisten hingga separuh durasi, namun sisanya, sisi nalar mulai diabaikan dengan lubang plot yang tak termaafkan. Aksi klimaksnya tak mampu menyajikan aksi ketegangan yang diharapkan. Film aslinya jauh lebih solid dari sisi cerita dengan finale yang amat memuaskan.

Baca Juga  Maleficent: Mistress of Evil

River Wild memiliki premis menarik serta sisi thriller intens, walau eksekusinya tidak seperti yang dijanjikan titelnya. Satu poin plus film ini adalah panorama perbukitan, hutan, dan sungai yang memukau. Amat disayangkan pula, film ini tidak berani mengambil resiko dalam pengadeganan airnya melalui teknologi audio visual yang dimiliki saat ini. Secara visual, terlihat sekali pembuat film terlalu malas untuk mengeksplorasi shot-shot-nya. Coba bandingkan sendiri dengan film aslinya yang kala itu teknologi drone belum eksis dalam produksi film. Belum lagi bicara poin cerita dengan mengesampingkan nilai keluarga yang kini hanya sebatas aksi kriminal murahan tanpa pesan berarti.

1
2
PENILAIAN KAMI
overall
60 %
Artikel SebelumnyaMalam Jumat Kliwon
Artikel BerikutnyaZom 100: The Bucket List of the Dead
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.