Sosok Hantu dan Ilmu Hitam dalam Film Horor Indonesia

0

  1. Urban Legend dan Mitos

Lalu ada pula film horor yang mengambil cerita urban legend di satu wilayah atau rumah angker yang diadaptasi dari cerita yang diyakini sungguh-sungguh terjadi, sebut saja Hantu Jeruk Purut (2006), Rumah Pondok Indah (2006), Terowongan Casablanca (2007), Kereta Hantu Manggarai (2008), Dendam Arwah Rel Bintaro (2013), Mal Klender (2014), Rumah Kentang (2014), Keluarga Tak Kasat Mata (2017), hingga sosok ikonik, Si Manis Jembatan Ancol. Mitos penunggu atau penguasa sebuah wilayah juga telah dieksplorasi para pembuat film sejak era 1980-an, sebut saja Ratu Buaya Putih (1988), Nyi Blorong (1981), dan Bangunnya Nyi Roro Kidul (1985). Selain itu pula di era klasik, banyak sekali muncul film horor dengan sosok siluman yang dikombinasikan dengan genre aksi, seperti Siluman Kera (1988) dan Sengatan Laba-laba Merah (1989). Di era modern, sosok siluman tak lagi banyak dieksplor, namun muncul seperti dalam 11:11, Apa yang kau lihat? (2018). Urban legend  juga lekat dengan mitos sosok hantu fenomenal, seperti Suster Ngesot (2007). Ada pula sosok hantu legenda noni Belanda, penghuni bangunan tua, seperti dalam Hantu Nancy (2015) dan Arwah Noni Belanda (2019). Sosok roh halus yang diyakini ada ketika seseorang tengah melakukan shalat, tampak dalam Makmum (2019).

  1. Ilmu Hitam dan Ritual Pengusiran Setan

Selain itu, kombinasi cerita horor dengan adanya praktik ilmu hitam juga populer dalam medium film. Film ini lazimnya menggambarkan sosok dukun atau penganut ilmu hitam, lengkap dengan aktivitas ritual gaib macam santet, pemujaan setan, atau pesugihan. Contoh filmnya, seperti Pengabdi Setan (1982) serta remake-nya diproduksi tahun 2017, Ratu Ilmu Hitam (1981) serta juga remake-nya diproduksi tahun 2019 lalu, Rasuk (2018), Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018), Perjanjian dengan Iblis (2019) hingga Perempuan Tanah Jahanam (2019). Ada pula film klasik, Ingin Cepat Kaya (Babi Jadi-jadian) (1976) yang merupakan ilmu untuk mendapatkan kekayaan melalui ritual “babi ngepet”. Bahkan lebih jauh, Sebelum Iblis Menjemput (2019) dan sekuelnya menggunakan kisah praktik ilmu hitam yang memasukkan mitologi barat. Biasanya, kemunculan setan atau iblis ini muncul karena adanya aktivitas ritual pembangkitan setan. Selain praktik ilmu hitam, ritual pengusiran setan ala The Excorcist atau The Conjuring juga muncul menyesuaikan kultur serta unsur religi kita, sebut saja Ruqyah: The Exorcism (2017) dan Roh Fasik (2019).

8. Indera Keenam

Berbeda dengan lainnya di atas, film horor Indonesia saat ini tengah tren pula mengeksplor cerita tentang seorang indigo yang memiliki indera keenam untuk melihat sosok gaib atau roh halus. Pengalaman mereka ketika melihat sosok hantu, visualisasinya pun beragam, baik wujud tubuh, wajah, hingga pakaian yang dikenakan. Adapun film yang mengangkat sosok indigo ini, seperti seri populer Danur: I Can See Ghost (2017), Danur 2: Maddah (2018), Danur 3: Sunyaruri (2019), diikuti Mata Batin 1 (2018) Mata Batin 2 (2019), Wengi Anak Mayit (2019), hingga baru lalu Aku Tahu Kapan kamu Mati (2020). Pada seri Danur, sang protagonis mampu melihat dan berkomunikasi dengan para hantu cilik Belanda serta noni Belanda. Sementara dalam Aku Tahu Kapan Kamu Mati (2020), sang protagonis mampu melihat sosok kuntilanak berpakaian merah.

Baca Juga  Mata Batin

9. Zombi

Tidak seperti di barat, zombi memang tidak sepopuler karakter hantu lokal di Indonesia karena sosok mayat hidup memang jarang dikaitkan dengan sisi supernatural, namun unsur fiksi ilmiah. Meski demikian, zombi masuk dalam subgenre horor karena sosoknya yang mengerikan. Contoh saja, film zombi klasik Night of the Living Dead yang menggambarkan sosok zombi dengan kombinasi suasana dan setting yang menyeramkan. Zombi lazimnya berwujud sosok mayat hidup dengan pakaian compang-camping, berjalan terseok-seok, wajah penuh luka, serta mata melotot. Di industri film kita, sosok mayat hidup muncul dalam Pengabdi Setan (1982) serta remake-nya. Beberapa film kita yang menampilkan sosok ini, antara lain Kampung Zombie (2015), Reuni Z (2018), dan Zeta: When the Dead Awaken (2019). Subgenre ini seperti halnya di barat, rasanya ke depan akan semakin banyak muncul dalam perfilman kita.

10. Psikopat/Tukang Jagal

Psikopat atau tukang jagal, lazimnya bukanlah sosok gaib atau hantu mengerikan dan kadang batasan sisi supernaturalnya sangat tipis. Mereka ini lebih ditakuti karena sering mengincar para korbannya untuk dibunuh secara sadis. Film jenis ini seringkali lebih diistilahkan slasher karena brutal, sadis, dan penuh cipratan darah. Sang antagonis biasanya juga memiliki ciri khas masing-masing dalam membunuh para korbannya. Tukang jagal macam ini, jelas banyak dipengaruhi film slasher barat dengan sosok pembuhuh bertopengnya, macam Jason, Michael Myers, hingga seri Scream. Beberapa film slasher kita, antara lain Air terjun Pengantin (2009) dan sekuelnya, Rumah Dara (2009), Badoet (2015), Midnigth Show (2016), hingga Hangout (2017) yang bernuansa komedi.

Demikian, beberapa sosok setan yang populer dalam film horor di Indonesia. Saya yakin masih banyak sosok setan lokal lainnya di daerah yang masih bisa dieksplor ke medium film. Semoga ke depannya film horor di Indonesia semakin bervariasi lagi dan mampu memiliki ciri khas hingga mampu bersaing secara internasional.

1
2
3
Artikel SebelumnyaItaewon Class (Series)
Artikel BerikutnyaTime to Hunt
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses