Sejak Get Out, belum ada lagi film komedi horor satir bertema kulit hitam yang berkualitas. The Blackening adalah film horor senada yang diarahkan oleh Tim Story yang juga menggarap Barbershop dan Shaft. Bermain dalam film-film ini, yakni Dewayne Perkins, Grace Byers, Jermaine Fowler, Melvin Gregg, X Mayo, Antoinette Robertson, Sinqua Walls, Jay Pharoah, dan Yvonne Orji. Film berdurasi 97 menit ini dirilis bulan Juni lalu dan baru tayang melalui platform streaming Prime Video. Akankah film ini mampu bersaing dengan Get Out melalui sisi satirnya?

Sekelompok muda-mudi kulit hitam menyewa sebuah kabin terpencil pada hari libur nasional merayakan kemerdekaan kulit hitam (Juneteenth). Dua rekan mereka, Morgan dan Shawn lebih dulu tiba di sana dan diteror oleh seorang misterius. Allison (Byers), Lisa (Robertson), Dewayne (Perkins), dan empat lainnya akhirnya tiba di sana. Di sebuah ruangan, mereka dipaksa untuk bermain satu permainan bernama The Blackening, jika tidak maka Morgan akan dibunuh. Permainan pun dimulai.

Naskah brilian yang superkocak mampu disajikan hampir dalam semua adegannya. Film ini adalah bak tribute segala hal tentang “anti-kulit hitam” dalam segala aspek, termasuk yang dominan adalah medium film itu sendiri. Nyaris tak ada satu adegan pun yang tidak membuat kita tergelak tawa. Jika kamu tahu persis, segala film horor populer, maka kamu pasti akan memahaminya. Humor “rasis” begitu dominan dalam semua banyolannya pada dialognya.

Satu contoh saja, dalam banyak adegannya, sering kali selorohan, “itu kata-kata orang kulit putih” terlontar. Pemicunya adalah kata-kata yang familiar di genre horor, macam “we have to split up”, “you stay here, I will be back”, dan banyak lainnya. Dalam kuis permainan Q & A, banyolan yang sama pun muncul, misal, sebut satu nama karakter yang selamat dari film horor? Lalu dalam sitkom Friends, siapa saja karakter orang kulit hitam yang pernah muncul? Satu banyolan terkonyol adalah ketika mereka harus memilih siapa yang paling “hitam” di antara mereka, dialog-dialog konyol pun bermunculan, “istriku kulit putih”, ”orang kulit hitam tidak pernah ikut sesi terapi”, dan “I vote Trump.. twice”. Dialog-dialog banyolan ini adalah satu kekuatan terbesar naskahnya, disamping penampilan memikat para kastingnya.

Baca Juga  The Offering

Dengan gaya berkelas dan penampilan mengesankan sederet kastingnya, The Blackening adalah film komedi satir terbaik sejak Get Out. Sisi horor dan ketegangan justru tertutup oleh sisi humornya, The Blackening memang tidak mengarah pendekatan horor yang intens dan menakutkan. Bagi penikmat horor sejati pun, arah plotnya tak sulit pula diantisipasi. Jika dibandingkan Get Out yang bertema senada, film ini memang tidak mengeksplorasi temanya sedalam itu dan sisi ancaman tidak sungguh-sungguh bisa kita rasakan. Namun untuk sajian hiburan, The Blackening adalah satu pengalaman menonton yang mengasyikkan dan mampu memberikan suntikan segar untuk genrenya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaThe Out-Laws
Artikel BerikutnyaBird Box Barcelona
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.