Horor selalu identik dengan sosok seram, hantu, monster, psikopat, atau lainnya, tapi pernahkah terbayang jika sang antagonis adalah seorang dua bocah yang manis? There’s Something Wrong with the Children adalah film horor unik arahan Roxanne Benjamin. Film ini dibintangi Alisha Wainwright, Zack Gilford, Amanda Crew, serta dua bintang cilik Briella Guiza dan David Mattle.

Margareth (Wainwright) dan Ben (Gilford), berlibur di sebuah resor bersama sahabat mereka, Ellie (Crew) bersama suami dan dua putra putri mereka. Dalam satu momen, mereka hiking di sekitar resor dan menemukan sebuah bangunan kuno. Mereka semua masuk ke dalam bangunan tersebut, dan pada sebuah tebing terjal di dalamnya, anak-anak pun bersikap aneh seolah mereka kerasukan. Sekembalinya dari sana, situasi pun bertambah kacau ketika dua anak Ellie menghilang. Ben melihat dengan matanya sendiri jika dua bocah tersebut terjun dari tebing, namun faktanya setelah ia kembali, mereka ada di sana dan terlihat normal. Mereka pun mempermainkan kewarasan Ben dan Ellie.

Horor berpremis unik ini memang menjanjikan tontonan yang berbeda. Walau tak sulit diantisipasi kisahnya, prosesnya berjalan lumayan menarik. Transisi dua bocah, dari good to evil, dituturkan dengan cara berkelas, yang awalnya mempermainkan sosok Ben. Akting dua bocah cilik, Guiza dan Mattle bermain mengesankan hanya melalui tatapan dan sorot mata tajam. Naskahnya cukup cerdas mempermainkan penonton dengan perlahan, tidak hingga akhirnya aksi jagal pun dimulai. Sejak momen ini, justru segalanya berubah layaknya film slasher kebanyakan. Eksplorasi menuju aksi jagalnya, sebenarnya bisa lebih dieksplorasi lebih jauh dengan memainkan subteks atau pesan terselubungnya.

There’s Something Wrong with the Children mencoba pendekatan horor yang berbeda melalui sisi antagonisnya, namun dalam prosesnya pesannya terasa kabur. Sosok Margareth dan Ben memprioritaskan karir di atas segalanya, kontras dengan Ellie. Namun, Ellie dan suaminya pun bukan sosok orang tua yang ideal. Kisahnya bisa dibaca sebagai seorang anak yang berontak dengan orang tuanya. Namun, terasa ada sesuatu yang hilang. Entah film ini pro “anak” atau tidak, ini jelas bukan masalah, namun pesannya menjadi abu-abu, terlebih setelah shot ending-nya yang brutal. Ini memang bukan pesan yang mudah, namun apa hanya sedangkal ini penafsiran value keluarga?

Baca Juga  Us

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaAdagium
Artikel BerikutnyaCinderella Chef dan Sekilas Tentang Animasi China
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.