Menutup kisah pasangan bersejarah Habibie & Ainun, MD Entertainment dan MD Pictures memproduksi film ketiganya, yakni Habibie & Ainun 3. Dengan masih bertindak sebagai sutradara (dua film Habibie & Ainun sebelumnya), Hanung Bramantyo menggandeng Ifan Ismail (penulis Ayat-Ayat Cinta 2 dan Habibie & Ainun) dan David McElroy sebagai penulis naskah, dengan cerita yang dibuat oleh Mario Kassar (produser Terminator Salvation, Terminator 3: Rise of The Machines, Rambo III, Rambo: First Blood Part II, dan Foxtrot Six). Film e drama roman ini dibintangi oleh Maudy Ayunda, Jefri Nichol, Reza Rahadian, Lukman Sardi, Marcella Zalianty, Arswendi Nasution, Amaranggana, Anodya Shula Neona Ayu, serta Tifani Habibie. Sebagaimana kisah Habibie dalam Rudy Habibie selama perjalanan perkuliahannya di Achen, Jerman, apakah Habibie & Ainun 3 memiliki daya tawar lain sesuai konteks geografisnya?

Satu tahun pasca meninggalnya Eyang Putri (Ainun), Eyang Habibie (Reza Rahadian) berbagi cerita kepada para cucu dan menantunya, mengenai kehidupan istrinya. Kisah tersebut berfokus pada sosok Hasri Ainun Besari (Maudy Ayunda) dan perjalanannya dalam meraih cita-cita menjadi seorang dokter. Sebagai salah seorang remaja pada umumnya, masa muda Ainun pun tak lepas dari kepopulerannya menjadi siswi dan mahasiswi cerdas, problematika cinta masa remaja dengan Ahmad (Jefri Nichol), serta perjuangan dalam meraih cita-cita. Ingatannya mengenai Ibu Besari (Marcella Zalianty) yang banyak membantu orang-orang, serta pesan-pesan dan dukungan dari Ayah (Lukman Sardi), memantapkannya untuk selalu yakin terhadap keputusan apapun dalam jalan hidupnya. Hingga ia meletakkan karir dokter yang telah dirintis semenjak duduk di bangku SMA, saat pertemuannya kembali dengan Habibie.

Kini, ada sedikit perbedaan dalam jajaran penulis film ketiga Habibie & Ainun, yakni Hanung tidak lagi menggandeng nama Gina S. Noer sebagai salah satu penulisnya. Tentu saja, fakta ini turut menentukan nasib dari naskah yang ditulis. Termasuk di antaranya adalah kontinuitas hal-hal kecil di dalamnya.

Pemanfaatan durasi sepanjang dua jam dengan dominasi tempo lambat dalam Habibie & Ainun 3, sukses memaksimalkan kesempatan bagi penonton untuk mendalami karakteristik dari para tokohnya. Dominasi tempo yang lambat ini mampu mengajak penonton untuk menyelami kehidupan personal dari salah satu pasangan bersejarah Indonesia, yakni Habibie & Ainun. Terutama latar belakang karir kedokteran Ainun yang rela ditinggalkan olehnya, untuk hidup bersama Habibie dan menempuh satu jalan bersama. Kerelaan ini yang tergurat melalui kualitas akting keduanya pada bagian akhir film, saat mereka dipertemukan kembali di tempat pertama momen antar keduanya tercipta.

Baca Juga  Mudik

Kekuatan terbesar dari sebuah film biografi adalah bagaimana sineas dan aktor-aktrisnya bekerja sama agar mampu menghadirkan sosok yang diperankan semaksimal mungkin. Inilah capaian Habibie & Ainun 3. Selain karena tidak ada seorang pun yang tidak mengenal pasangan bersejarah Habibie & Ainun, tapi film ini menarik pengetahuan tersebut agar lebih mendekat dan menyelami keduanya sejauh mungkin, untuk yang ketiga kalinya setelah Habibie & Ainun dan Rudy Habibie.

Banyak sekali eksplorasi Hanung dalam setiap filmnya. Kini, melalui Habibie & Ainun 3, ia banyak melakukannya dengan membangun ulang banyak tempat, menciptakan sosok yang sesuai dengan kebutuhan, serta mengganti dan menambahkan sejumlah aspek. Sebagaimana Bumi Manusia dengan penciptaan latar tempat jauh pada masa lalu, ini berlaku pula untuk Habibie & Ainun 3. Bedanya, kali ini dengan tingkat logika yang lebih mendekati masuk akal. Meski dalam banyak kesempatan masih sering dijumpai hal-hal yang selalu “tampak baru dan sengaja diadakan” pada saat momen tersebut berlangsung.

Salah satu cacat yang paling kentara adalah kontinuitasnya terhadap film pertama. Terhadap film kedua, Habibie & Ainun 3 masih memelihara dengan baik ketersinambungan di antara keduanya. Namun, tidak demikian terhadap film yang pertama. Kendati salah seorang penulis dalam film ini juga ikut menuliskan naskah Habibie & Ainun, tapi fakta ini tidak cukup membantu melihat bagaimana hubungan film ini dengan film pertamanya. Bukan soal perbedaan orang-orang yang bermain di dalamnya, tapi sejumlah adegan serta motivasinya, latar tempat, dan mood dari adegan tersebut. Dengan alasan apapun yang terkait dengan jarak pembuatan di antara Habibie & Ainun dengan Habibie & Ainun 3, film ini seolah-olah sebatas ingin melakukan reka ulang beberapa bagian dalam film pertama, alih-alih reka ulang kisah aslinya.

Satu hal yang membuat Habibie & Ainun 3 begitu terasa dalam dan mengagumkan adalah keseriusan pengerjaannya. Tidak seperti sejumlah film biografi arahan Hanung yang selalu memiliki ciri khas romansa semata tanpa memahami konteks sosok-sosok di balik sumber ceritanya. Kendati Habibie & Ainun 3 tetap memiliki segmen romansa, itu pun dapat dimaklumi sebab memang kisahnya seputar transisi kehidupan Ainun dari masa-masa SMA menuju perkuliahan, dan upayanya untuk membuktikan bahwa cita-citanya bukanlah isapan jempol belaka. Film ini pun terasa lebih erat dengan sisi kekeluargaan yang kental karena proses narasinya dituturkan oleh Eyang Habibie kepada para cucu dan menantunya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaStar Wars: The Rise of Skywalker
Artikel BerikutnyaLokakarya Kritik Film Dokumenter di FFD 2019
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.